Ahad 08 Jul 2012 00:00 WIB

Syahwat Dalam Jaring Kekuasaan (II)

Rep: m subarkah / Red: M Irwan Ariefyanto
Ilustrasi
Foto: Blogspot.com
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,Usaha untuk mendisiplinkan pejabat dari gangguan perbuatan serong ini pun sudah semenjak dahulu dilakukan. Pada masa awal kololonial Belanda, Gubernur Jenderal Be landa, Jan Pieterszoon Coen, pada 1620, sudah berusaha melarang keras “perilaku bejat” para anggota tentaranya yang melakukan praktik pergundikan dengan perempuan pri bumi. Dia mengatakan, praktik seksual seperti itu sangat membahayakan kepentingan pemerintahannya.

Usaha yang sama juga dilakukan ketika gubernur Hindia Belanda dijabat Rafles pada awal 1800-an. Dia saat itu melarang keras, bahkan menghukum, perilaku pejabat yang melakukan praktik seksual yang tidak senonoh. Apalagi, saat itu Raffles melihat bahwa hampir semua orang Eropa yang tinggal di Batavia hidup dalam alam pergundikan.

Selepas zaman kolonial, pengaturan yang lebih ketat pada soal hubungan seks para pejabat, muncul pada zaman Orde Baru. Saat itu, penyelewengan seksual para pejabat ditindak sangat tegas. Meski para wanita dikumpulkan dalam wadah organisasi pendukung kiprah pejabat kaum lelaki, Dharma Wanita, posisi tawar perempuan tak bisa dianggap rendah. Saat itu, terlihat sikap istri Presiden Soeharto, Tien Soeharto, yang sangat keras terhadap pejabat negara yang suka menyeleweng (misalnya, punya istri lebih dari satu). Publik saat itu mahfum, bila ada pejabat negara yang berani berpoligami atau melakukan tindakan penyelewengan seksual maka dia pasti akan langsung dipecat.

Namun, situasi yang ‘ketat’ pada zaman rezim Suharto itu kini cenderung luruh. Penyelewengan seksual pejabat terbuka ke mana-mana. Salah satu puncak kasusnya antara lain ketika ada pejabat lembaga antikorupsi masuk ke dalam bui hanya karena dia dituding berbuat tidak senonoh kepada perempuan yang menjadi caddy golf.

Seperti dikatakan Direktur Citra Komunikasi Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Toto Izul Fatah, mengatakan, meski ter kesan “rigid”, pada kenyataannya masyarakat Indonesia kini lebih bersikap permisif terhadap perilaku seks para pejabat. Mereka tidak memandang sisi moral pejabat sebagai hal ideal yang harus dipunyai setiap pejabat. Mereka masih bisa memahami bila ada pejabat nakal. “Publik kebanyakan tak mau ambil pusing terhadap soal-soal pribadi (seksual) para pejabat. Bahkan, faktanya meski diindikasikan video mesumnya sudah beradar luas, pejabat yang diduga menjadi pelakunya masih bisa menang dalam ajang pemilu kepala daerah,” kata Toto.

Dengan kata lain, nilai-nilai ideal dari seorang pejabat negara di kalangan sebagian besar masyarakat bukan menjadi hal yang penting. Mereka masih bisa memaklumi bila ada pejabat yang punya “perilaku seksual” yang tak terpuji. “Yang sudah ada videonya saja masih bisa menang, apalagi kalau yang hanya digosipkan atau sekadar dituduh saja. Publik menganggap ‘ni lai ideal moral’ pejabat sebagai hal yang tak ter lalu penting,” tandasnya. Jadi, inilah masyarakat kita...?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement