REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Potensi perbedaan dimulainya Ramadhan 1433 Hijriah tetap terjadi di tahun ini. Menurut Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementerian Agama (Kemenag) yang juga merupakan Profesor Riset Astronomi-Astrofisika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin, potensi ini terjadi karena ada pihak yang ingin berbeda.
"Ramadhan akan beda karena ada yang ingin beda. Secara astronomi, keputusan hisab Muhammadiyah keliru, karena menggunakan konsep geosentrik," kata Djamaluddin melalui pesan singkatnya, Jumat (6/7).
Dikatakannya, Muhammadiyah mementingkan hak untuk berbeda seperti yang dijamin dalam Pasal 29 UUD 1945. Namun, kata dia, hal tersebut justru mengabaikan kewajiban untuk bersatu. "Kewajiban bersatu itu merupakan perintah Allah SWT pada Alquran Surat Ali Imran (3): 103 yang berbunyi: "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai (tafarruq)”," tegasnya.
Anggota Tim Tafsir Ilmi Kemenang ini juga mengatakan dalam blog-nya, dulu Muhammadiyah gencar dengan gerakan pemberantasan TBC (Takhyul, Bid’ah, dan khurafat. Namun pembinaan Muhammadiyah atas dasar taqlid tentang hisab hakiki wujudul hilal telah melemahkan sikap kritis internalnya akan bid’ah yang paling nyata yang berdampak pada perbedaan penentuan waktu ibadah Ramadhan. Hal itu, kata dia, terjadi saat mengawalinya maupun mengakhirinya.
Fokus kritiknya, kata Djamaluddin, soal penentuan awal Ramadhan dan akhir Ramadhan yang terkait dengan pelaksanaan ibadah, mestinya harus atas dasar dalil-dalil syar’i. Namun, dalil syar’i yang diajukan untuk mendasari wujudul hilal hanyalah Alquran Surat Yasin (36): 40. Ditambahkannya, hal itu diperparah dengan tafsir astronomis yang keliru dan mengabaikan sekian banyak dalil rukyat yang sebenarnya bisa menjadi dasar untuk mendukung kriteria hisab.
Dalam ayat itu disebutkan, "Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya."
Dalil rukyat ketika ditafsirkan secara teknis untuk diterapkan dalam hisab akan berwujud kriteria imkan rukyat hilal (kemungkinan rukyat hilal). Dalam bahasa teknis astronomis disebut kriteria visibilitas hilal. Wujudul hilal mengabaikan rukyat, sehingga tidak punya pijakan dalil qath’i (tegas) yang mendukungnya. "Dengan demikian wujudul hilal menjadi bid’ah yang nyata. Padahal hisab tidak harus wujudul hilal, bisa menggunakan kriteria imkan rukyat yang merupakan tafsir ilmi astronomis atas dalil-dalil rukyat," kata Djamaluddin.