REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi menyatakan rencana pemerintah untuk melakukan moratorium ekspor gas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sulit terlaksana karena infrastruktur pengangkut gasnya masih minim.
"Moratoritum ekspor gas hanya bisa dilakukan untuk kontrak baru, sedangkan kontrak yang sudah berjalan tidak bisa dihentikan," kata Kepala Divisi Humas, Sekuriti, dan Formalitas Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), Gde Pradnyana, di Jakarta, Kamis.
Gde menilai moratorium ekspor gas akan berdampak berkurangnya pasar gas Indonesia di luar negeri. Selain itu, semangat kompetisi pemasok mencari pasar juga akan mulai berkurang.
"Pasar yang besar punya kita, nantinya akan diambil oleh negara lain," ujarnya.
Saat ini, lapangan gas banyak ditemukan di wilayah timur, sementara penggunanya banyak di Jawa dan Sumatera sehingga perlu infrastruktur untuk menyalurkan gas tersebut. Sementara pengiriman itu tidak bisa melalui pipa di laut karena geografisnya yang sulit.
"BP Migas mendukung moratorium ekspor gas oleh Pemerintah. Namun, itu untuk lapangan gas yang cadangan kecil dan tidak ada infrastruktur penyalurnya," paparnya.
Untuk lapangan yang memiliki cadangan besar, menurut dia, tetap bisa diekspor dengan harga internasional untuk menambah pemasukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Saat ini, sektor gas tidak lagi hanya digunakan untuk menjadi penerimaan negara atau devisa saja, tetapi sudah untuk menyokong pertumbuhan ekonomi nasional. Apalagi, sektor migas masih menyumbang 25 persen bagi APBN," katanya.