REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perusahaan raksasa pertambangan asal Amerika Serikat PT Freeport Indonesia berencana melantai perdana atau melakukan initial public offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia. Pengamat senior pasar modal David Ferdinandus menilai rencana IPO Freeport tersebut tak akan berjalan mulus, meskipun Freeport dipastikan akan menjadi perhatian pasar saham di Indonesia.
"Faktor pertama menyangkut masalah kondisi politik dan ekonomi Papua. Ini sangat menentukan," kata David dihubungi Republika, Kamis (5/7). Freeport saat ini masih terganjal masalah internal di Papua, seperti perundingan serikat pekerja dan masalah dengan pemerintah daerah. Selain itu, Freeport masih harus menjalani renegosiasi kontrak karya pertambangan dengan pemerintah.
Di sisi lain, David menilai kehadiran Freeport meramaikan bursa saham domestik sangat profitable. Industri pertambangan ke depannya masih sangat menarik. Bahkan, David meramalkan saham Freeport akan menjadi primadona.
Pasalnya, perusahaan-perusahaan tambang raksasa di Indonesia rata-rata berpenghasilan 2,3 miliar dolar AS per tahun. "Ini menjadi salah satu pilihan wajib investor," ujarnya.
Ada indikasi Freeport menjual sahamnya melalui IPO terkait kewajiban divestasi perusahaan. Seperti diketahui, pemerintah Indonesia memberlakukan aturan divestasi untuk semua perusahaan tambang asing yang beroperasi di Indonesia.
Divestasi tersebut seizin Menteri ESDM. Sedangkan untuk perusahaan tambang asing pemegang Kontrak Karya (seperti Freeport dan Newmont) dan pemegang Perjanjian Kontrak Penambangan Batubara (PKP2B) akan difasilitasi setelah habis masa kontraknya untuk diubah menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP). Pemerintah membatasi kepemilikan asing di sektor pertambangan maksimal 49 persen pada tahun ke sepuluh sebuah perusahaan tambang berproduksi.