REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU---Majelis Ulama Indonesia (MUI) Riau menyatakan pejabat yang kerap melakukan pembohongan baik secara langsung maupun lewat media, selain berdosa juga sama halnya dengan membunuh generasi penerusnya.
" Terlebih kalau pembohongan tersebut dilakukan secara terstruktur. Hal ini jelas dalam agama adalah berbuatan dosa besar dan dampaknya adalah 'kematian' bagi generasi penerus," kata Ketua MUI Riau H. Mahdini, Selasa.
"Pembunuhan" yang dimaksud Mahdini yakni bisa berupa pembunuhan karakter atau rasa kepercayaan, pembunuhan citra, dan pembunuhan kecintaan rakyat pada pemimpinnya.
Artinya adalah, lanjut Mahdini, nilai-nilai kepercayaan masyarakat kepada pemimpinnya perlahan akan terus berkurang hingga memasuki masa krisis yang tentunya bisa saja menjadi bomerang bagi suatu daerah yang dipimpin oleh pejabat yang kerap berbohong terhadap masyarakatnya itu.
Kemudian, kata dia, pemimpin yang kerap membohongi publiknya sendiri, juga akan membunuh citra kepemimpinannya sendiri sehingga secara berlahan rakyatnya akan meninggalkannya.
"Hal ini yang kemudian secara tidak langsung akan 'membunuh' rasa kecintaan masyarakat terhadap pemimpin dan bisa jadi akan mendatangkan trauma di masa depan," katanya.
Sebaiknya, menurut Mahdini, antara rakyat di suatu daerah dengan pemimpinnya tidak ada kebohongan, sehingga berbagai upaya pembangunan termasuk pemulihan ekonomi akan berjalan secara optimal.
Satu hal yang paling berbahaya jika suatu daerah dipimpin oleh pejabat yang kerap berbohong terhadap masyarakatnya, yakni tidak akan ada lagi penghargaan atau kehormatan terhadap pemimpin tersebut.
"Jika kondisi demikian terjadi, maka akan timbul berbagai hal yang tak diinginkan, demonstrasi di mana-mana dan kericuhan juga bisa terjadi kapan saja," katanya.
Mahdini juga menyarankan, masyarakat atau rakyat juga jangan selalu menaruh kecurigaan berlebih terhadap para pemimpinnya sebelum ada fakta yang jelas dan benar-benar terbukti.
"Jangan begitu mendapat informasi bahwa pejabatnya bohong dan melakukan kesalahan terus rakyatnya percaya begitu saja. Lakukan pengkajian dan tunggu saja faktanya baru merasakan kekecewaan itu," katanya.
Masyarakat, menurut Mahdini, sebaiknya juga dapat lebih jeli dalam memilih suatu isu atau tontonan yang disajikan berbagai media. "Jangan mudah terpengaruh yang ujung-ujungnya menyebabkan terus berkurangnya rasa kecintaan terhadap pimpinannya," demikian Mahdini.
PEKANBARU---Majelis Ulama Indonesia (MUI) Riau menyatakan pejabat yang kerap melakukan pembohongan baik secara langsung maupun lewat media, selain berdosa juga sama halnya dengan membunuh generasi penerusnya.
" Terlebih kalau pembohongan tersebut dilakukan secara terstruktur. Hal ini jelas dalam agama adalah berbuatan dosa besar dan dampaknya adalah 'kematian' bagi generasi penerus," kata Ketua MUI Riau H. Mahdini, Selasa.
"Pembunuhan" yang dimaksud Mahdini yakni bisa berupa pembunuhan karakter atau rasa kepercayaan, pembunuhan citra, dan pembunuhan kecintaan rakyat pada pemimpinnya.
Artinya adalah, lanjut Mahdini, nilai-nilai kepercayaan masyarakat kepada pemimpinnya perlahan akan terus berkurang hingga memasuki masa krisis yang tentunya bisa saja menjadi bomerang bagi suatu daerah yang dipimpin oleh pejabat yang kerap berbohong terhadap masyarakatnya itu.
Kemudian, kata dia, pemimpin yang kerap membohongi publiknya sendiri, juga akan membunuh citra kepemimpinannya sendiri sehingga secara berlahan rakyatnya akan meninggalkannya.
"Hal ini yang kemudian secara tidak langsung akan 'membunuh' rasa kecintaan masyarakat terhadap pemimpin dan bisa jadi akan mendatangkan trauma di masa depan," katanya.
Sebaiknya, menurut Mahdini, antara rakyat di suatu daerah dengan pemimpinnya tidak ada kebohongan, sehingga berbagai upaya pembangunan termasuk pemulihan ekonomi akan berjalan secara optimal.
Satu hal yang paling berbahaya jika suatu daerah dipimpin oleh pejabat yang kerap berbohong terhadap masyarakatnya, yakni tidak akan ada lagi penghargaan atau kehormatan terhadap pemimpin tersebut.
"Jika kondisi demikian terjadi, maka akan timbul berbagai hal yang tak diinginkan, demonstrasi di mana-mana dan kericuhan juga bisa terjadi kapan saja," katanya.
Mahdini juga menyarankan, masyarakat atau rakyat juga jangan selalu menaruh kecurigaan berlebih terhadap para pemimpinnya sebelum ada fakta yang jelas dan benar-benar terbukti.
"Jangan begitu mendapat informasi bahwa pejabatnya bohong dan melakukan kesalahan terus rakyatnya percaya begitu saja. Lakukan pengkajian dan tunggu saja faktanya baru merasakan kekecewaan itu," katanya.
Masyarakat, menurut Mahdini, sebaiknya juga dapat lebih jeli dalam memilih suatu isu atau tontonan yang disajikan berbagai media. "Jangan mudah terpengaruh yang ujung-ujungnya menyebabkan terus berkurangnya rasa kecintaan terhadap pimpinannya," demikian Mahdini.