REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pedangdut pria Saipul Jamil mencari keadilan sampai ke Mahkamah Konstitusi (MK). Upaya tersebut ditempuhnya pasca dirinya didakwa Pasal 310 Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Status tersebut didapat Saipul dari Kejaksaan Negeri Purwakarta, yakni dilatarbelakangi peristiwa kecelakaan yang merenggut nyawa isterinya di ruas tol Cipularang beberapa waktu lalu. Alasannya dijadikan terdakwa, Saipul dianggap telah lalai dalam berkendara sehingga menyebabkan orang lain meninggal dunia.
Tak puas dengan itu, duda Demi Persik ini lantas mengajukan gugatan uji materiil terhadap pasal yang menjerat dirinya ke MK.
"Apa yang dialami pemohon adalah musibah dan bukan kelalaian," kata kuasa hukum Saipul, Tito Hananta saat membacakan permohonan di sidang perdana pengujian Pasal 310 UU No. 22/2009 di gedung MK, Jumat (22/6).
Menurut Tito, dalam frasa 'kelalaian' seperti yang terkandung dalam Pasal tersebut, tidak memiliki penafsiran secara resmi. Sehingga akan memunculkan defenisi yang bersifat subjektif, baik dari Majelis Hakim, Jaksa Penuntut Umum, ataupun saksi ahli.
Karena itu, kata dia, pemohon menjadi tidak mendapatkan kepastian hukum. Padahal hal tersebut merupakan hak konstituisional yang dimiliki pemohon. Tak hanya itu, lanjut Tito, pada frasa 'orang lain' dalam pasal yang sama, juga tidak memiliki penjelasan resmi. "Padahal yang menjadi korban dalam musibah tersebut adalah isteri pemohon sendiri," kata dia.
Karena itu, dalam petitumnya, pemohon meminta kedua frasa tersebut dapat dinyatakan bertentangan dengan hukum. Yakni bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Apalagi, kata Tito, dalam UU Perkawinan, sepasang suami isteri dinyatakan sebagai satu kesatuan lahir batin dan bukan orang lain.
Menanggapi pertimbangan pemohon, anggota Hakim Panel Konstitusi, Achmad Sodiki menegaskan, MK idak mengadili kasus, tapi menyangkut pada permasalahan UU. Karena itu, dia menyarankan kepada pemohon untuk tidak menjadikan kasus sebagai fokus persidangan.
Menurut Sodiki, jika itu tetap dilakukan pemohon, maka argumentasi dasar dari yang dipertetangkan menjadi tidak ada ketika persidangan berjalan. Sementara itu, anggota Hakim Panel lainnya, Harjono, juga mengeluarkan pendapat serupa.
Dia juga mengimbau kepada pemohon untuk bisa membuktikan pertentangan UU seperti yang diajukan. Selain itu, Harjono juga mempertanyakan perihal frasa 'kelalainnya' dihapus, maka pasal tersebut akan menjadi 'pasal tutup mata'. "Hal-hal ini yang harus dipertimbangkan," ungkapnya.