REPUBLIKA.CO.ID, Secara filosofis, motif batik memiliki fungsi dan kegunaan masing-masing sesuai dengan kebudayaan daerah di mana motif tersebut muncul dan berkembang. Termasuk batik Jawa yang menyebar dan mengalami perkembangan di berbagai daerah di Indonesia, pada akhirnya memiliki nilai filosofis yang beragam.
Di Surakarta dan Yogyakarta, motif batik berhubungan dengan makna filosofis dalam kebudayaan Hindu-Jawa dan juga Budha-Jawa. Yuni Sugandini dalam “Batik Warisan Budaya Indonesia yang Bernilai Luhur” (museumtekstiljakarta.com) menuliskan, beberapa motif dianggap sakral dan hanya dipakai di lingkungan Keraton dan pada kesempatan tertentu.
Motif sida mukti (yang secara harfiah berarti “menjadi berkecukupan”) dan motif wahyu tumurun (turunnya wahyu) misalnya, digunakan hanya pada upacara jumenengan (perayaan ulang tahun naik tahta). Motif parang yang bernuansa ramai dipakai pada saat pesta atau perayaan. Sedangkan untuk melayat, digunakan warna yang lebih lembut yaitu motif kawung.
Selain pengaruh agama masyarakat lokal, batik juga mendapat pengaruh dari luar. Motif megamendung adalah contoh motif batik Cirebon yang mendapat pengaruh dari Cina. Konon, budaya Cina tersebut dibawa oleh Ratu Ong Tien yang menikah dengan Sunan Gunung Jati pada abad ke-16 M.
Selain semua kebudayaan tersebut, dalam perkembangannya batik juga menerima pengaruh yang besar dari Islam. Menurut Komaruddin dan Putut (2008), batik Indonesia merupakan hasil interaksi dari sedikitnya tiga macam etnik di Indonesia, serta melalui perdagangan dan aktivitas penyebaran agama Hindu, Budha, dan Islam.
Andil Islam pada seni budaya batik Indonesia terutama terjadi di Pulau Jawa. Banyak di antara daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri. Misalnya daerah Tegalsari, Ponorogo, di mana sebuah pesantren yang diasuh Kiai Hasan Bisri berada.
Kiai yang dikenal dengan sebutan Kiai Agung Tegalsari itu kemudian menjadi menantu raja Keraton Solo. Kepergian putri Keraton Solo mengikuti sang Kiai ke Ponorogo bersama sejumlah pengiringnya akhirnya membawa batik keluar dari lingkungan Keraton. Sehingga berkembanglah batik di lingkungan tersebut.
Selain itu, berkembang pula batik pesisiran yang berkembang di daerah pelabuhan seperti Indramayu, Cirebon, Pekalongan, Pacitan, Ponorogo, Tulungagung, Blitar, dan Kediri yang terletak agak terpencil di sepanjang pantai Tenggara Jawa (Oss [1996] dalam Komaruddin dan Putut [2008]).