Selasa 12 Jun 2012 05:30 WIB

Wamen, Sebuah Potret Inkonsistensi

Para wakil menteri
Foto: Antara
Para wakil menteri

REPUBLIKA.CO.ID,oleh: Joko Sadewo (wartawan Republika)

Janganlah berjanji kalau Anda tidak bisa menepati. Janganlah pula berteriak mengajak kalau Anda tak bisa memberikan contoh. Ini cerita (lagi-lagi) tentang kicauan pengamat politik dadakan, si Herman, mandor bangunan yang sangat rajin mengikuti perkembangan politik dan kebijakan publik di negara ini. Bahkan, mungkin si Herman ini lebih serius mengamati riuh rendah politik dibanding pekerjaan para tukangnya (pekerja bangunannya).

Pukul 06.00 WIB, dengan bersungut-sungut si Herman menonton siaran berita di televisi tentang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas persoalan wakil menteri alias wamen. Bukan persoalan konstitusional atau tidak konstitusionalnya posisi wamen yang dikomentari oleh si Herman. Entah bagaimana mulanya, warga Griya Pelita, Pancoran Mas, Depok ini, justru nyerocos tentang pimpinan yang harus memberi teladan dan tidak ingkar janji.

“Kalau pimpinan-pimpinan di negara ini sudah beda antara omongan dan perbuatannya, ya bagaimana rakyate mau meneladaninya. Iya kan, Bos?” ungkap Herman kepada saya, dengan mimik muka serius tapi lucu. Karena masih bingung dengan pernyataan itu, saya pun nyeletuk bertanya ke Herman, “Maksudnya piye, Man?”

Rupanya Herman punya ingatan yang cukup baik. Dipaparkannya dalam banyak kesempatan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) banyak berbicara tentang perlunya penghematan dan APBN yang terancam bangkrut. Alasan-alasan ini yang bahkan dijadikan dasar pemerintah untuk mengusulkan kenaikan harga bahan bakar minyak. “Malah Pak SBY kan pidato belum lama ini juga ngomong lagi soal penghematan,” ungkap Herman.

Sayangnya, lanjut Herman, apa yang disampaikan soal penghematan, dan cerita tentang APBN yang nyaris bangkrut ini, berbeda dengan apa yang dilakukan pemerintah. “ Nambah jabatan 20 wakil menteri, ini kan pasti akan bikin pengeluaran negara makin banyak. Bener gak, Bos?” celetuk Herman kepada saya lagi. Saya tidak menjawab pertanyaan Herman karena saya yakin Herman tidak perlu mendengar jawaban saya.

Bagi Herman, tidak penting apakah wamen itu konstitusional atau tidak konstitusional. Yang dilihat Herman justru pada persoalan konsistensi pemerintah atas setiap kebijakannya. Karena ternyata, di satu sisi pemerintah bicara penghematan, tapi di sisi lain justru pemerintah membuka peluang terjadinya pemborosan anggaran.

Kalau merujuk pada hitung-hitung an yang dilakukan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), anggaran untuk setiap wamen tidak kurang dari Rp 753 juta. Misalnya, di Kementerian Luar Negeri untuk 2013 mengalokasikan Rp 1,41 miliar. Jumlah itu naik menjadi Rp 1,49 miliar pada 2014.

Saya juga teringat ketika berbincang dengan Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso. Saat itu, politikus Partai Golkar ini menyebut bahwa wamen memiliki fasilitas layaknya anggota kabinet. Tentu saja ini akan membuat anggaran makin membengkak.

Barangkali, biaya besar tidak akan menjadi masalah kalau keberadaan wamen ini memang dimaksudkan untuk mendukung kinerja menteri. Sayangnya, banyak pihak yang meragukan itu. Toh selama ini di kementerian sudah ada pejabat di eselon satu yang semestinya bisa menjalankan kebijakan teknis dari menterinya.

Kalau semua urusan teknis sudah menjadi urusan menteri maka pertanyaannya, untuk apa gunanya ada pejabat di eselon satu. Pecat saja mereka kalau ternyata tidak bisa bekerja membantu menterinya. Bahkan, banyak yang menuding kalau wamen itu tidak jauh dari urusan bagi-bagi kekuasaan. Lebih ekstrem lagi, wamen di tuding sebagai bagian dari upaya mengontrol kinerja sang menteri. Persoalan apakah tudingan ini benar atau salah, biarlah waktu yang membuktikannya. Dan harus diingat, masih banyak Herman-Herman lain di negara ini yang akan terus mengamatinya.

[email protected]

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement