Senin 11 Jun 2012 19:45 WIB

Kado Hari Antinarkoba dari Presiden SBY

Narkotika (Ilustrasi)
Foto: Corbis
Narkotika (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,oleh: Subroto (wartawan Republika)

          

Tanggal 26 Juni 2012 nanti di peringati sebagai Hari Antinarkoba Internasional. Tiap tahun pada tanggal itu berbagai acara di gelar untuk mengingatkan kita betapa merusaknya narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba) bagi kehidupan manusia.

Peringatan Hari Antinarkoba tahun ini agaknya akan menjadi istimewa. Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberi ‘kado’ menjelang hari penting itu. Sebuah bingkisan teramat pahit bagi penggiat penanggulangan narkoba.

Kado itu berupa Keputusan Presiden (Keppres) No 22/G/2012 tanggal 15 Mei 2012 yang memberikan grasi lima tahun terhadap terpidana narkotika, Schapelle Corby. Kita tentu ingat dengan Corby. Wanita asal Australia yang dikenal sebagai ‘Ratu Mariyuana’ ini pada 2005 lalu divonis 20 tahun oleh Pengadilan Negeri Denpasar, Bali. Ia dianggap bersalah atas tuduhan kepe milikan 4,2 kg ganja.

Kasus Corby sempat menjadi bahan pembicaraan hangat, bukan hanya di Indonesia, melainkan di Australia. Di Tanah Air, vonis terhadap Ratu Mariyuana itu dianggap sebagai dukungan penuh terhadap pemberantasan narkoba. Pihak Australia sempat mengajukan protes, tapi pengadilan Indonesia menunjukkan harga dirinya, tak bisa diintervensi. Tidak pandang bulu, apakah warga asing atau bangsa sendiri. Pelaku kejahatan narkoba harus diganjar dengan hukuman yang setimpal.

Putusan ini sangat memenuhi rasa keadilan publik. Narkoba sudah menjadi musuh terbesar negeri ini. Indonesia se lama ini sudah menjadi surga narkoba. Bukan hanya sebagai konsumen narkoba, Indonesia sudah menjadi produsen kelas atas. Untuk urusan di bidang lain, seperti ekonomi atau prestasi olahraga, bolehlah Indonesia tertinggal. Tapi, tidak dengan narkoba.

Kita masih ingat pada 2005 lalu polisi menggerebek sebuah pabrik ekstasi di Serang, Banten. Pabrik itu disebut sebut sebagai pabrik terbesar ketiga di dunia setelah pabrik di Fiji dan Cina. Belum lama ini, aparat kembali meng ungkap jaringan pil ekstasi internasional terbesar di Indonesia selama 10 tahun terakhir ini. Sebanyak 1.412.475 pil ekstasi yang dapat merusak hampir 1,5 juta warga dari penyalahgunaan barang haram tersebut dibongkar dari spesialis sindikat kejahatan narkotika Tiongkok– Indonesia, di Jakarta.

Diperkirakan, tidak kurang dari Rp 30 triliun dihasilkan dari peredaran gelap narkoba di Indonesia setiap tahun. Kasus kejahatan narkoba pun mening kat setiap tahunnya. Pada 1997 tercatat hanya 602 kasus tindak pidana narkoba. Pada 2011 angkanya naik 40 kali lipat menjadi 26.560 kasus.

Badan Narkotika Nasional (BNN) memperkirakan jumlah pengguna narkoba di Tanah Air kini mencapai 3,8 juta orang. Jumlah ini setara dengan 2,2 persen penduduk Indonesia. Kebanyak an pengguna adalah kaum profesional muda. Artinya, mereka yang masih dalam usia produktif. Dan yang lebih mengkhawatirkan, banyak pengguna narkoba yang masih duduk di bangku sekolah dasar (SD).

Narkoba sudah masuk ke semua kalangan, dari kelas atas hingga rakyat jelata. Dari pejabat hingga penganggur an. Aparat keamanan, polisi, dan tentara tak lepas dari kejahatan ini. Belum lagi kalau kita bicara dampaknya. Narkoba tidak hanya merusak kesehatan, tetapi semua sendi kehidupan, sosial, budaya, ekonomi, dan keamanan. Tak berlebihan jika dikatakan kejahatan narkoba ini lebih berbahaya dari terorisme.

Presiden memang memiliki hak untuk memberikan grasi. Secara yuridis formal, SBY memiliki alasan mengapa memberikan grasi kepada Corby. Grasi itu hak prerogatif presiden. Tapi, seharusnya Presiden tidak hanya mem pertimbangkan masalah hukum se mata dalam kasus Corby ini.

Grasi oleh Presiden SBY ini melukai rasa keadilan rakyat. Presiden terkesan tidak peka atas kondisi di masyarakat yang sudah muak dengan narkoba yang merusak bangsa ini.

Presiden tidak konsisten. Di satu sisi, pemerintah mengklasifikasikan kejahatan narkoba sebagai kejahatan luar biasa, seperti korupsi dan terorisme. Tapi di sisi lain, Presiden justru memberi grasi kepada terpidana yang menjadi salah satu ikon kejahatan narkoba.

Pada saat seluruh elemen masyarakat bergandengan tangan, Presiden SBY yang seharusnya menjadi ujung tombak gerakan pemberantasan narkoba di Tanah Air itu justru memperlemah perjuangan. Jika grasi ini dianggap seba gai ‘kado’ dari Presiden, pada Hari Anti narkoba Internasional nanti rakyat berhak untuk tidak menerima pemberian itu. Gerakan Nasional Anti Madat (Granat) sudah mendaftarkan gugatan pemberian grasi atas Corby ini ke PTUN, Jakarta.

Langkah ini merupakan bentuk protes nyata atas kebijakan yang telah dikeluarkan presiden. Tidak menutup ke mungkinan langkah ini diikuti oleh tindakan politik wakil rakyat di Senayan. Misalnya, dengan pengajuan hak interpelasi. Jadi, Presiden SBY, hati-hatilah memberi kado.  

[email protected]

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement