REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -— Fenomena mundurnya politisi Theresia Ebenna Ezeria Pardede (Tere) menunjukan kalau kecenderungan partai untuk mencari figur yang hanya popular. Namun, tidak memiliki basis pengalaman politik yang kuat.
‘’Begitu saja diambil. Ini yang mempengaruhi pola hubungan kader dengan partai. Mereka tak punya basis dan orientasi politik yang kuat,’’ kata pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Ari Dwipayana ketika dihubungi, Ahad (3/6).
Menjadi kader partai, lanjut dia, itu tak instan. Apalagi untuk mereka yang duduk di parlemen. Harus ada sistem seleksi yang basisnya menggunakan kinerja politik. Dalam melakukan rekrutmen, partai bisa saja mengambil dua jalur, yaitu, mengambil kader yang meniti karier politik dari bawah. Kedua, mengambil tokoh popular namun harus dengan orientasi politik dan partai yang jelas. Sehingga, ketika politisi itu naik, sudah siap dengan dinamika politik yang ada.
Ia juga menilai, hal ini sebagai masalah partai yang mirip dengan fenomena bubble political party. Istilah ini untuk partai berkembang namun, tak ada pola kelembagaan yang kuat. Makanya, lanjut Ari, membuat ekspektasi kader terhadap partainya terlalu besar. Tapi realitasnya tidak seperti yang diharapkan sehingga kemudian memunculkan kekecewaan.
‘’Ini yang terjadi di Demokrat hingga kemudian ada kadernya yang mundur. Sama seperti kejadian di PDI Perjuangan dengan Sophan Sopian yang mundur pada 2009,’’ jelas dia. Di Demokrat, Ari melihat kekecewaan itu muncul karena partai berlambang bintang itu masih menerapkan oligarki politik yang kuat. Yaitu, pengambilan keputusan hanya ada di tangan segelintir orang saja.
Kondisi ini ditambah dengan skandal-skandal yang melibatkan kadernya. Antara lain, yang dialami mantan bendahara umum Partai Demokrat, M Nazaruddin yang kemudian menyerat nama petinggi-petinggi lainnya. Seperti ketua umum Anas Urbaningrum dan Angelina Sondakh. ‘’Akhirnya kader kecewa, akhirnya diwujudkan dalam berbagai bentuk, termasuk mengundurkan diri,’’ papar dia.