Jumat 01 Jun 2012 17:04 WIB

Pemerhati Anak: Penjara Bukan Jalan Terakhir Bagi ABH

Rep: A Syalaby Ichsan/ Red: Dewi Mardiani
Tahanan anak dibawah umur.  (Ilustrasi)
Foto: Antara
Tahanan anak dibawah umur. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerhati anak, Magdalena Sitorus, meminta agar penahanan menjadi jalan terakhir bagi penegak hukum untuk menegakkan keadilan bagi anak. Kalau pun harus dilakukan penahanan, tuturnya, harus ada standar ruang tahanan yang layak untuk anak.  “Tempat mereka tidak berbentuk jeruji dan harus memperhatikan hak-hak mereka,” tegas Magdalena, Jumat (1/6).

Bagaimana pun, mantan komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia ini mengungkapkan, anak harus mendapatkan perlindungan. Pasalnya, sebagai manusia yang belum memiliki kematangan fisik dan psikis, maka kesalahan anak harus dilihat sebagai bentuk kewajaran.

Sejatinya, tutur Magdalena, tidak ada anak yang bermasalah. Menurutnya, anak terbentuk oleh orangtua, keluarga, dan lingkungan. Sehingga, setiap masalah mereka harus dilihat dari penciptaan karakter oleh instrument-instrumen tersebut. “Siapa sebetulnya yang bermasalah. Anak itu dalam tumbuh kembang meniru lingkungannya,” ungkap Magdalena.

Peneliti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Syamsul Munir, mengungkapkan anak memiliki masalah terhadap hukum karena berbagai latar belakang. Masih tingginya angka keluarga miskin di Indonesia dan tingginya kriminalitas kelompok usia 8-18 tahun jadi salah satu pemicunya. Oleh karena itu, tuturnya, kejahatan yang dilakukan anak tidak bisa dipandang sebagai kejahatan murni.

Pendekatan keadilan restoratif dengan model dialog, ungkap Syamsul, harus menjadi alternatif untuk menyelesaikan kasus anak bermasalah dengan hukum. "Pendekatan ini memberdayakan korban, pelaku, keluarga, dan masyarakat untuk memperbaiki perbuatan melahan hukum dengan kesadaran dan keinsyafan,"ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement