REPUBLIKA.CO.ID, MALANG - Sebagian besar pesawat TNI Angkatan Udara memang telah berusia tua, namun pemeliharaan dan perawatan pesawat tersebut diakui masih maksimal dan bisa disamakan dengan pemeliharaan pesawat di luar negeri.
"Pesawat memang boleh tua, namun untuk pemeliharaan bisa disamakan dengan luar negeri," kata Komandan Skadron Teknik 022 Lanud Abdurrahman Saleh, Letkol Rudolf Buulolo, di Malang, Rabu.
Buulolo mengatakan, meskipun pesawat TNI-AU sebagian besar tua, terkait dengan pemeliharaan selalu diperbaharui jadi setiap informasi baru selalu diakomodir melalui litbang.
Namun, lanjut Buulolo, yang menjadi kendala adalah tidak adanya suku cadang untuk memperbaiki pesawat-pesawat yang telah berumur tua.
"Kita kesulitan suku cadang, idealnya kita harus memiliki stok level di gudang namun hingga saat ini belum ada jadi apa yang kita pesan di awal tahun saja yang tersedia," tambah Buulolo.
Modal awal TNI AU adalah pesawat-pesawat hasil rampasan dari tentara Jepang seperti jenis Cureng, Nishikoren, serta Hayabusha, pesawat tersebut merupakan cikal bakal berdirinya TNI AU.
Setelah keputusan Konferensi Meja Bundar tahun 1949, TNI AU menerima beberapa aset Angkatan Udara Belanda meliputi pesawat terbang, hanggar, depo pemeliharaan, serta depot logistik lainnya.
Beberapa jenis pesawat Belanda yang diambil alih antara lain C-47 Dakota, B-25 Mitchell, P-51 Mustang, AT-6 Harvard, PBY-5 Catalina, dan Lockheed L-12.
Tahun 1950, TNI AU mengirimkan 60 orang calon penerbang ke California Amerika Serikat, mengikuti pendidikan terbang pada Trans Ocean Airlines Oakland Airport (TALOA), dan saat itu TNI AU mendapat pesawat tempur dari Uni Soviet dan Eropa Timur, berupa MiG-17, MiG-19, MiG-21, pembom ringan Tupolev Tu-2, dan pemburu Lavochkin La-11.
TNI AU memperbarui armadanya pada awal tahun 1980-an dengan kedatangan pesawat OV-10 Bronco, A-4 Sky Hawk, F-5 Tiger, F-16 Fighting Falcon, dan Hawk 100/200.