REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra/Wartawan Republika
“Huft...” Kata itu terucap secara spontan dari mulut Asmani (55 tahun). Penyapu jalanan ini tidak sedang mengeluh, namun ingin istirahat sebentar. Ia kecapaian setelah menunaikan tugasnya selama tiga jam tanpa henti. Wajah keriputnya teraliri keringat yang masih mengucur.
Dengan menyandarkan punggungnya di dinding gedung perkantoran tepi jalan, dia rehat sebentar. Sambil melepaskan gagang sapu dari tangan kanannya, tanpa sadar tangan kirinya menggeletakkan cikrak yang menampung beragam kotoran itu begitu saja.
“Saya sudah sejak pukul 05.00 WIB kurang tadi mulai membersihkan jalanan sekitar sini,” katanya menunjuk Jalan Raya Pejaten Barat, Jakarta Selatan (Jaksel). Lebih tepatnya, dia menggerakkan jari telunjuknya ke arah mal Pejaten Village (Penvil) hingga pertigaan jalan Jati Padang. Asmani memiliki kewajiban untuk membersihkan jalanan dari dedaunan, kotoran, maupun sampah yang tampak mengganggu pemandangan.
Wanita yang sudah menjadi penyapu jalanan selama 18 tahun ini dapat dikatakan sebagai wanita tangguh. Sepanjang dua kilometer jalan raya yang menjadi tanggung jawabnya hampir setiap hari disapunya, kecuali hari libur. Dulu area tugasnya mencapai jalan samping Universitas Nasional *Nas). Berhubung semakin berumur maka sebagian area tugasnya diserahkan ke penyapu jalanan lain.
Penampilan Asmani sungguh unik. Dia mengenakan jilbab dan topi sebagai pelindung dari sengatan matahari. Kecuali muka, seluruh tubuhnya tertutupi pakaian. Kedua telapak tangannya terbungkus sapu tangan dengan alasan agar tidak mudah kotor. Selain itu, kata dia, menghindarkan tangannya supaya tidak sampai ngapal.
Sehari-hari, Asmani memakai sepatu kets butut dan mengenakan seragam oranye. Dia tampak lincah dalam menyisir area yang dianggapnya kawasan jorok. Ia mengatakan, tidak sepanjang jalanan perlu di sapu sebab hal itu tentu merepotkannya. Lagian tidak semuanya kotor dan dia harus menyapu kanan-kiri jalan yang itu cukup melelahkan.
Perempuan Betawi asli ini memiliki pengalaman buruk di jalanan yang ramai, khususnya dengan sepeda motor. Sekitar tujuh tahun lalu, dia mengalami nasib naas ditabrak pengendara motor dari belakang. Entah mengapa, ada pengendara yang ceroboh hingga menyerempet tubuh bagian bawah. Ia terlempar seketika dan meringis kesakitan. Ketika itu, dia masih bertugas di sekitaran jalan raya Mangga Besar, Ragunan.
Yang miris, karena berstatus tenaga outsource maka perusahaan yang membawahinya bersama Dinas Kebersihan DKI Jakarta hanya mampu membantu sekadarnya. Meski pekerjaannya berisiko tinggi karena bersentuhan dengan kendaraan di jalanan, para penyapu jalanan tidak ada yang mendapat asuransi kesehatan.
Karena itu, dia tidak memilih melakukan pengobatan ke dokter, melainkan ke tukang urut untuk mengobati kakinya. Bukan karena tidak percaya dengan tenaga medis, melainkan Asmani tidak mampu mengeluarkan biaya lebih kalau berobat ke dokter. Selama enam bulan lamanya ia menghabiskan waktu di rumahnya di bilangan Ciganjur, Jaksel.
Namun semangat ingin kembali ke jalan membuatnya tidak kapok menjadi penyapu jalanan. Karena itu dia menemui pengawasnya untuk meminta diijinkan kembali menjadi bagian dari pasukan oranye—julukan penyapu jalanan.
“Saya keingetan nyapu saja. Saya ingin jalur yang jadi kewajiban saya bisa bersih,” kata dia kepada Republika, Selasa (23/5). Lagi pula, sambung dia, “Saya merasa gatal kalau sehari saja tidak memegang sapu.”
Sayang fisiknya tidak bisa seperti dulu lagi. Kaki kanannya tidak bisa berdiri tegak seperti semula. Alhasil kalau berjalan dia rada pincang. “Kaki saya bengkok sebelah sampai sekarang,” ujarnya.
Upah rendah
Asmani tidak memungkiri, menjadi penyapu jalanan maka harus siap menerima kekecewaan kalau memikirkan materi. Ia bersama para rekannya selalu menghadapi persoalan kesejahteraan. Dia sebenarnya bersyukur sejak tiga bulan lalu menerima gaji sebesar Rp 1 juta yang diambil lewat salah satu bank swasta.
Meski jauh di bawah upah minimum regional (UMR) Jakarta sebesar Rp 1,5 juta, dia menyatakan pendapatan sekarang cukup memadai. Pasalnya kalau dibandingkan dengan sebelumnya yang hanya Rp 750 ribu per bulan, jelas terjadi kenaikan cukup banyak. Meski sebenarnya upah yang diterima belum layak, Asmani lebih memilih bersabar.
Peningkatan kepedulian kesejahteraan kepada penyapu jalanan dirasanya masih kurang. Dia mencontohkan, ketika Pemerintah Kota (Pemkot) Jaksel ikut dalam perlombaan Adipura setiap tahunnya, maka dia dan rekannya yang lain ikut kena getahnya. Bukan tidak apa-apa dia kebagian sampur. Itu lantaran Asmani menjadi garda terdepan bagi pemda untuk bisa mendapat penilaian bagus kalau wilayah penilaian dianggap bersih dan terlihat rapi.
Jika sudah memasuki masa penilaian Adipura, maka dia harus bekerja ekstra. Oleh pengawas, seluruh penyapu ‘dipaksa’ lembur. Kalau sebelumnya usai Zuhur mereka bisa pulang ke rumah maka aturan itu tidak berlaku lagi. Kalau berani melanggar, sangat mungkin menjadi catatan hitam bagi pengawas untuk tidak memperpanjang kontraknya lagi.
Karena itu dia mengalami dilema kalau harus bekerja sampai sore. Dia senang-senang saja menyapu sampai sore, meski secara fisik sangat melelahkan. Namun yang menjadi catatannya adalah uang lembur yang diberikan tidak sebanding dengan tenaga yang harus dikeluarkannya. “Masa uang lembur hanya Rp 1.000 per jam. Kalau hanya segitu, semuanya jadi malas-malasan,” kritik dia. “Kerja kita jadinya kurang dihargai,” imbuh Asmani.
Namun dia tidak berani meninggalkan tugasnya. Kalau pengawas tahu dia sudah pulang maka pasti dimarahi. “Lha mau bagaimana lagi? Uang lembur saja untuk bayar angkot tidak cukup. Kan rugi.” “Jadi, kerja paginya kita niatin, siang sampai sore saya hanya duduk-duduk,” katanya sambil tersenyum.
Saat ini, Asmani tidak mengharapkan apa-apa lagi, termasuk kenaikan gaji. Karena dengan yang didapat sekarang ia masih bisa menghidupi keluarganya dan tidak merasa kekuarangan. Ia hanya ingin tetap bisa terus bekerja, agar dapat penghasilan tetap.
“Tapi saya juga tidak terlalu berharap banyak daripada nanti menyesal sendiri.” Lagipula, "Saya senang dengan menjadi penyapu jalanan. Saya bekerja dan menikmatinya,” ujarnya.
Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Eko Baruna mengklarifikasi kalau tidak semua pasukan oranye menjadi tanggung jawab pihaknya. Eko menjelaskan, dari ribuan penyapu jalanan, setidaknya 65 persen statusnya bawaan perusahaan yang menjadi rekanan Dinas Kebersihan. Untuk 35 persen penyapu jalanan, kata dia, semuanya mendapat upah sesuai UMR.
“Kalau ada yang gajinya di bawah UMR meski sudah lama bekerja, bisa jadi dia ikut swasta,” kata dia. “Mereka yang bekerja karena di bawah pengawasan perusahaan swasta maka bukan menjadi tanggungjawab kami.”
Eko tidak memungkiri pasukan oranye adalah tulang punggung yang berkontribusi membuat Ibu Kota tampak lebih bersih. Karena itu jasa mereka cukup besar bagi perawatan dan pembangunan masyarakat DKI. Meski begitu, pihaknya tidak bisa menjanjikan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. “Untuk penyapu yang memang pegawai kami, tentu kami perhatikan persoalan pendapatan itu,” ujar Eko.