REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mempertanyakan kedudukan hukum (legal standing) para pemohon, yakni Pimpinan Pusat Muhammadiyah dkk terkait gugatan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). Hal itu diungkapkan Dirjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Evita Legowo, saat membacakan keterangan dalam sidang Pengujian UU Migas, di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (24/5).
"Kedudukan pemohon harus dipertanyakan, apakah sudah tepat," ujarnya. Selain itu, pihaknya juga mempertanyakan perihal kerugian konstitusional para pemohon yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual. Menurut Evita, pemerintah selaku termohon tidak melihat adanya alasan lain yang diajukan oleh pemohon, yakni terkait pertimbangan uji materi UU Migas.
Karena itu, pemerintah menganggap para pemohon, yakni sebanyak 32 tokoh dan 10 ormas keagamaan, antara lain Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, mantan Ketua MUI Amidhan, mantan Ketua PB NU Achmad Hasyim Muzadi, mantan Menakertrans Fahmi Idris, dan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Prof Komaruddin Hidayat tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki legal standing. "Jadi MK harus menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard)," ujar Evita.
Sebelumnya, PP Muhammadiyah bersama sejumlah ormas dan unsur perseorangan mengajukan uji materiil UU Migas ke MK, karena menilai sepuluh pasal terakhir dalam UU tersebut merugikan negara. Karena itu, UU Migas harus diubah, terutama menyangkut pasal yang menyatakan kewenangan pengelolaan kontrak BP Migas diperbaiki.