Rabu 23 May 2012 18:47 WIB

PPP: Presiden Terpilih Harus Copot Jabatan di Partai

Rep: Mansyur Faqih/ Red: Djibril Muhammad
sekjend PPP  M Romahurmuziy
Foto: entbluextv.com
sekjend PPP M Romahurmuziy

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengusulkan wacana baru terkait rencana perubahan UU Nomor 42/2008 tentang pemilihan presiden. Yaitu, agar presiden dan wakil presiden melepas jabatannya di partai politik begitu terpilih.

"Presiden dan wakil presiden menjadi milik bangsa dan mewakafkan hidupnya untuk kepentingan bangsa. Makanya setelah menjabat jadi presiden harus meletakan jabatannya, apapun di partai politik. Supaya jadi milik bangsa. Kita ingin presiden yang netral," kata Sekjen PPP, M Romahurmuziy di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (23/5).

Menurutnya, kalau masih ada jabatan di partai politik, maka akan sulit tercipta harmonisasi antara presiden dan wakilnya. Ini mengacu pada pengalaman 2004 ketika Jusuf Kalla menjadi wapres menemani Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

"Agak aneh fatsun SBY dan JK. Ketika sebelumnya mereka bertarung tapi setelah kalah JK jadi Wapres. Selama tiga-empat bulan awal harmonisasinya susah," tambah dia.

Wacana ini pun mengacu pada pemilukada. Yaitu, setiap pengurus partai harus mundur sebelum maju menjadi calon kepala daerah. Namun bagi presiden, syarat ini bisa berubah menjadi setelah terpilih. Ini mengingat pentingnya peran presiden untuk menjalankan pemerintahan.

Diakuinya, hal ini hanya sebagai tindakan antisipasi. Pasalnya, keberpihakan seseorang itu bersifat subjektif. Bisa saja ketika sudah menjabat menjadi presiden namun tetap berpihak kepada partainya.

Ini juga dianggapnya sekaligus untuk memudahkan komunikasi antara cawapres tepilih dengan semua fraksi. Sehingga, komunikasi bisa berjalan netral dan terlepas dari unsur kepentingan.

"Untuk menjaga netralitas, itu harusnya dicantumkan (di UU Pilpres). Begitu menjabat langsung copot semua jabatan di parpol. Ini tidak berlebihan, karena presiden itu jabatan paling tinggi. Beda dengan menteri yang jabatan politik," cetus Ketua Komisi IV DPR tersebut.

Mengenai polemik capres dari unsur parpol dan non-parpol, menurutnya hal itu tak relevan. Karena pemilihan presiden itu dilakukan langsung. Ia menilai lebih baik membiarkan masyarakat yang menilai. Apakah calon yang diusung itu sudah mencerminkan kedewasaan partai dalam berpolitik. Serta berdasarkan unsur keneragawanan atau tidak.

"Kalau berdasarkan dikotomi seperti itu, jadinya gaya berpikir parlementer. Harusnya tak usah ada dikotomi," pungkas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement