Jumat 18 May 2012 21:06 WIB

Ketika Relawan Sukhoi Terikat Prinsip SAR

Rep: asep nurzaman/ Red: Heri Ruslan
Petugas SAR dan TNI mengevakuasi jenazah korban Sukhoi ke helikopter di Helipad Lapangan Pasir Pogor, Cipelang, Cijeruk, Kabupaten Bogor, Selasa (15/5).
Foto: Aditya Pradana Putra/Republika
Petugas SAR dan TNI mengevakuasi jenazah korban Sukhoi ke helikopter di Helipad Lapangan Pasir Pogor, Cipelang, Cijeruk, Kabupaten Bogor, Selasa (15/5).

REPUBLIKA.CO.ID, PUNCAK MANIK -- Salah satu prinsip Search and Rescue (SAR) adalah jangan meninggalkan orang yang butuh pertolongan. Inilah yang dipegang teguh oleh tim SAR gabungan Brimob Polda Jabar dan kelompok pecinta alam liar Calvinis (Jabar) yang berjumlah sembilan orang di bawah pimpinan Kompol Kristofer Primus.

Setelah hampir sepekan menjadi bagian operasi SAR dalam musibah jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 di Puncak Manik, Gunung Salak, mereka sudah ingin segera turun gunung karena sangat kelelahan. Ada yang merindukan bertemu keluarganya, mengambil cuti kerja, bahkan memimpikan dapat menyantap hidangan nasi padang.

Tapi langkah mereka pada Selasa (15/5) petang harus tersendat-sendat. Yaitu, mulai saat turun dari Puncak Manik di ketinggian 2.200 meter di atas permukaan laut (dpl), hingga Posko Gabungan di Cemelati, Desa Pasawahan, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

Ketika itu mereka mendapati Republika yang juga hendak turun gunung dan berjalan sendiri di tengah hutan lebat. Sedangkan sebentar lagi akan datang malam yang sangat gelap. Hanya bermodalkan sebilah tongkat, Republika berjalan terseok-seok menuruni jalan licin, berlumpur, terjal, dan curam.

Rombongan Kristofer datang. Barry, dari Calvinis, berinisiatif mengajak Republika bergabung dengan rombongannya. ''Bahaya kalau pulang sendirian, karena malam akan segera tiba. Bisa tersesat atau cedera tanpa ada yang dapat menolong,'' katanya.

Maka mereka menempatkan Republika di tengah-tengah rombongan agar terkawal dan tak ketinggalan langkah. Risikonya, relawan SAR yang sudah sangat terlatih itu tidak bisa berjalan tergesa-gesa untuk dapat segera mencapai segala angan-angan melepas lelah.

Hari memasuki waktu Maghrib dan mulai gelap. Sebagian anggota rombongan mengeluarkan senter tangan atau yang dipasang di kening.

Beberapa kali rombongan ini disalip tim SAR dari TNI dan kelompok pecinta alam yang tidak terbebani orang yang harus ditolong. ''Tenang dan pelan-pelan saja,'' begitu anggota tim SAR Brimob dan Calvinis selalu mengingatkan Republika.

Satu per satu anggota rombongan ini juga mengalami  jatuh terduduk atau terguling-guling karena terpeleset di atas jalan setapak yang licin dan curam. Malah, baru seperempat perjalanan, sepatu kaki kanan Republika jebol pada jahitan solnya. 

Kristofer segera menawarkan tambang plastik yang melilit pada pisau komandonya. ''Ikat sepatu itu dengan tali ini agar kaki tidak luka,'' kata pria asal Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), itu.

Bagi dia, kaki sangat penting dijaga agar tidak cedera ketika menempuh medan berat seperti ini. ''Tangan patah tak akan mengganggu langkah kaki. Tapi kalau kaki terluka sedikit saja, bisa menghambat perjalanan kita,'' tutur Kristofer.

Perjalanan yang sangat sulit ini berakhir di Posko Cimelati dalam waktu tempuh sekitar enam jam atau bertepatan dengan pukul 22.00 WIB. Waktu tempuh ini sama dengan ketika Republika naik ke Puncak Manik.

Mestinya, tim SAR dapat turun gunung pada jalur pendakian itu paling lambat dalam waktu 3-4 jam. ''Tapi, kami terikat pada prinsip SAR agar tidak meninggalkan orang yang butuh pertolongan,'' tegas Kristofer.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement