Senin 14 May 2012 17:01 WIB

Kalimantan Ancam tak Kirim Hasil Tambang

Rep: Dwi Murdaningsih/ Red: Dewi Mardiani
BBM Bersubsidi (ilustrasi)
Foto: Republika/Wihdan
BBM Bersubsidi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Sistem distribusi BBM di Kalimantan mengalami gejolak akibat kelangkaan yang terjadi dalam kurun waktu enam bulan terakhir. Minimnya kuota untuk Kalimantan menjadi penyebab utama terjadinya stagnasi dan kerugian ekonomi yang tinggi.

Gubernur Kalimantan Selatan, Rudy Ariffin, yang juga merupakan Ketua Forum Gubernur se-Kalimantan, menyatakan bahwa hasil pertemuan empat Gubernur se-Kalimantan sepakat tidak akan mengirim hasil tambang dari daerah masing-masing keluar daerah. Hal itu dilakukan jika pemerintah pusat tidak memenuhi permohonan penambahan kuota BBM bersubsidi.

Ketua Umum Kadin Indonesia, Suryo Bambang Sulisto, mengatakan Kadin berharap pemerintah pusat bisa memperhatikan permasalahan ini. Hal ini penting untuk menghindari dampak permasalahan lain yang bisa ditimbulkan, seperti kerugian ekonomi dan stabilitas nasional yang terganggu.

"Kami berharap kesepakatan untuk mengembargo sumber daya alam Kalimantan itu tidak direalisasikan karena bisa mengganggu stanilitas nasional dan kerugian ekonomi nasional," ujar Suryo, Senin (14/5) dalam keterangan persnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Koordinator Wilayah Tengah, Endang Kesumayadi, mengatakan kerugian ekonomi yang bisa ditimbulkan akibat minimnya kuota pasokan di wilayah Kalimantan, diperkirakan mencapai 10 triliun per bulan.

"Sudah 3 bulan terakhir ini Kalimantan mengalami kelangkaan BBM paling parah. Antrian saja bisa mencapai 3-4 km. Di sana harga mencapai Rp 15.000 - Rp 20.000/liter tapi masyarakat masih membelinya. Sedangkan di Jawa, harga mau naik saja mendapat reaksi keras," ungkap Endang.

Endang memaparkan bahwa proses distribusi barang juga terhambat karena adanya stagnasi di lapangan. Sedikitnya 7.000 truk di Kalimantan Selatan, 5.600 truk di Kalimantan Timur, dan 3.500 truk di Kalimantan Barat terhambat beroperasi. Hal ini memicu stagnasi dan antrian panjang di pelabuhan hingga 2-3 hari.

Sebagai solusi untuk mengurangi dampak ekonomi yang dialami dan dampak lain yang lebih jauh lagi, Endang menyarankan agar pemerintah pusat dapat berkonsultasi dengan pemerintah daerah. Konsultasi itu untuk mengetahui kebutuhan kuota BBM yang sebenarnya untuk Kalimantan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement