REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus dugaan video porno yang diduga melibatkan politisi DPR jarang yang masuk ke ranah penindakan hukum. Hal tersebut berbeda dengan kasus dugaan video porno yang melibatkan kalangan umum, seperti artis Ariel Peterpan yang diproses hukum hingga tuntas.
Menurut Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Muzakkir, ada dua hal yang mesti diperhatikan dalam menangani kasus hukum video porno. Pertama, jika video porno yang dilakukan pasangan bukan muhrim itu dilakukan dengan cara merekam sendiri untuk kepentingan pribadi dan disimpan secara rahasia, maka hal tersebut tidak bisa masuk ke ranah pidana. Namun, secara etika, seperti dugaan yang terjadi pada anggota DPR saat ini, hal tersebut sudah bisa dikatakan melanggar etika.
Kedua, video porno yang direkam sendiri untuk kepentingan pribadi namun tidak disimpan secara rahasia sehingga membuat orang lain bisa melihatnya, maka hal tersebut bisa dimasukan ke dalam ranah tindak pidana.
"Nah yang terjadi pada Ariel Peter Pan atau anggota DPR itu dia bisa dikenakan tindak pidana karena dia menyimpanya di tempat yang bisa dilihat publik," kata Muzakkir saat dihubungi Republika, Ahad (13/5).
Namun, saat ditanya mengapa penegak hukum cenderung membiarkan penanganan hukum pada kasus video porno yang melibatkan sejumlah anggota DPR mulai dari Yahya Zaini, Max Moein, hingga Arya Bima, dibanding video porno yang dilakukan Ariel Peterpan yang penanganan hukumnya sampai tuntas, Muzakkir mengatakan hal tersebut merupakan tanggung jawab penegak hukum. Polisi selaku aparat penegak hukum yang menangani kasus ini, harus memfollow up apakah anggota DPR itu memang sengaja membuat video porno itu dan ceroboh dalam melakukan penyimpanan hingga bisa dilihat oleh publik.
"Nah kalau memang ada unsur kecerobohan, maka bisa masuk ke ranah pidana," kata Muzakkir.