Kamis 10 May 2012 14:42 WIB

Pemerintah Diminta Jangan berlama-lama Tunda Kenaikan BBM

Rep: Sefti Oktarianisa/ Red: Djibril Muhammad
BBM Bersubsidi (ilustrasi)
Foto: Republika/Wihdan
BBM Bersubsidi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Peneliti Economics and Sosial Commission for Asia and the Pasific (ESCAP) Katinka Weinberger mengingatkan pemerintah RI agar jangan terlalu lama menunda kenaikan BBM bersubsidi. Pasalnya ada banyak hal yang membutuhkan perbaikan di negeri ini, yang notabene memerlukan banyak dana anggaran dari pemerintah.

"Memang banyak konsumen yang khawatir akan kenaikan BBM bersubsidi. Tapi itu hanya untuk jangka pendek," katanya menjawab Republika, Kamis (10/5).

Menurutnya pemerintah wajib meyakinkan pihak-pihak yang kontra dengan kenaikan BBM bersubsidi agar langkah ini mulus dilakukan. Ia menilai kenaikan ini akan berdampak positif pada ekonomi jangka panjang.

Dijelaskan dia, banyak sektor yang membutuhkan pembenahan mulai dari masalah pertanian di pedesaan hingga infrastuktur seperti elektrifikasi dan telekomunikasi. "Sekarang mungkin bisa saja kita bergantung pada minyak, tapi nanti ke depan hal ini tidak boleh dibiarkan," jelasnya.

Menurut dia, Indonesia harus segera mengembangkan diversifikasi energi lainnya mulai dari gas, bioenergi, hingga solar cell. Sementara itu, terkait penundaan aturan pembatasan BBM bersubsidi yang dikeluarkan pemerintah, Katinka mengaku kemungkinan besar ini akan berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun sayangnya ia enggan menuturkan berapa persen penurunan bakal terjadi.

Sebelumnya dalam rapat paripurna APBN Perubahan 2012, pemerintah menunda kenaikan BBM bersubsidi. Namun jika harga rata-rata minyak mentah Indonesia melewati batas 120,8 dolar AS dalam kurun waktu enam bulan, pemerintah bisa saja langsung mengambil keputusan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi.

Untuk menekan agar kuota BBM bersubsidi sebesar 40 juta kilo liter tetap terpenuhi hingga akhir 2012, pemerintah pun sempat berniat mengeluarkan aturan pembatasan. Namun pemerintah juga akhirnya batal melakukan ini akibat sulitnya aplikasi di lapangan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement