REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Maraknya penggunaan senjata api di tengah masyarakat tak lain karena penarikan senjata api tak pernah tuntas dilakukan. “Penarikan senjata api dari masyarakat sipil pada 2007 ternyata hanya seremonial yang tidak pernah tuntas,” kata Ketua Setara Institute, Hendardi lewat siaran pers, Senin (7/5).
Menurutnya, pada dasarnya, peredaran senjata api dan perizinannya merupakan bagian praktik bisnis di kepolisian. Faktanya, kata dia, masih sekitar 1.700-an senjata api beredar di tengah masyarakat dengan alasan masa izin yang belum habis.
Selain di kalangan masyarakat sipil, akuntabilitas penggunaan senjata api juga tidak pernah dilakukan secara transparan. Ia mengatakan ketika banyak peristiwa penyalahgunaan senjata api oleh oknum Polri dan TNI, penghukuman tidak pernah dilakukan secara tegas. “Penindakan hanya berujung pada pengenaan sanksi disiplin yang tidak membuat jera si pelaku,” katanya.
Hendardi menilai tak ada cara lain untuk menciptakan ketertiban kecuali dengan menarik seluruh peredaran senjata api di kalangan masyarakat sipil tanpa terkecuali yang dimiliki anggota DPR. Tak hanya itu, hukum secara tegas dan transparan penyalahgunaan senjata api baik yang melibatkan warga sipil maupun aparat.
Peredaran senjata api di kalangan masyarakat sipil dengan alasan apapun hanya membuktikan aparat keamanan, polisi tidak mampu menjalankan fungsi keamanan sesuai wewenang tugasnya. Peredaran senjata api, lanjut dia, nyata-nyata hanya menebarkan terror.
“Yang terjadi bukan malah untuk melindungi diri, tapi untuk menunjukkan bahwa dirinya digdaya dibanding dengan yang lain. Perilaku semacam ini tidak pantas,” katanya.