REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Tuduhan ada potensi kehilangan lima juta hektar hutan pascamoratorium hutan oleh Greenpeace dinilai keliru besar karena berbeda dengan laporan FAO. Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim, Agus Purnomo meminta lembaga nirlaba internasional itu untuk tidak menciptakan kebohongan yang menyesatkan, kata Agus di Jakarta, Senin.
"Tuduhan tersebut sulit dipahami karena sangat berbeda dengan laporan lembaga PBB (FAO) dan catatan Kementerian Kehutanan yang menyatakan bahwa laju deforestasi dalam beberapa tahun terakhir berkurang secara drastis, menjadi sekitar 500 ribu ha setiap tahunnya," ujarnya.
Tanggapan itu disampaikan menyikapi catatan penting yang diberikan Koalisi Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global dalam rangka menjelang setahun diberlakukan Moratorium Hutan dan Lahan Gambut, melalui Inpres No. 10/2011 yang diterbitkan pada 20 Mei 2011.
Inpres yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut merupakan bagian dari strategi nasional untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan, yang pada saat yang bersamaan menjaga pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Secara umum, Inpres tersebut mengacu pada moratorium, yaitu penundaan penerbitan izin baru pada hutan primer dan lahan gambut selama dua tahun dengan beberapa pengecualian tertentu
Dalam catatan Greenpeace, revisi peta indikatif penundaan ijin baru (PIPIB) menunjukkan keberpihakan pada usaha perusakan hutan. Lembaga lingkungan hidup internasional itu menyebut engurangan luasan hutan dan lahan gambut yang terus terjadi dalam setiap revisi, yaitu 5,64 juta ha (Juni - November 2011) dan 4,9 juta ha berpotensi hilang pada November 2011?Mei 2012, sehingga wilayah hutan dan lahan gambut yang tercakup peta moratorium semakin kecil.
Agus menjelaskan, berdasarkan data dari Kementerian Kehutanan, laju deforestasi Indonesia mengalami penurunan dalam 10 tahun terakhir, yaitu periode 1990-1996 laju deforestasi 1,87 juta ha/tahun sedangkan 1997-2000 seluas 3,51 juta ha/tahun.
Sementara laju deforestasi akibat dari kebakaran hutan, desentralisasi dan lemahnya penegakan hukum pada 2001-2003 seluas 1,08 juta ha/tahun, pada 2004-2006 mencapai 1,17 juta ha/tahun sebagian juga akibat kebakaran hutan di tahun sebelumnya 2007-2009 seluas 0,83 juta ha/tahun dan 2009-2011 seluas 0,45 juta ha/tahun.
Agus menambahkan, keberhasilan menekan laju deforestasi menjadi lebih kecil dari separuh angka laju deforestasi pada masa pemerintahaan yang lalu adalah fakta yang bisa diverifikasi oleh siapa saja melalui citra satelit dan sudah dilaporkan oleh berbagai organisasi internasional.
"Kami mengundang Greenpeace untuk menjelaskan metodolologi yang digunakannya untuk menyatakan kerusakan hutan tersebut sehingga jelas duduk perkaranya, apakah angka tersebut angka khayalan atau angka yang akurat yang membuat penurunan laju deforestasi Indonesia harus dikoreksi," ujar Agus Purnomo.
Dramatisasi terhadap kejadian dalam skala kecil, ujarnya, adalah metoda sering digunakan oleh beberapa pihak, baik LSM maupun pengusaha. Cara itu dilakukan, imbuhnya, demi memperoleh perhatian dari pemerintah, masyarakat dan pengamat ekonomi dan pelestarian lingkungan di dalam dan luar negeri.
"Yang harus selalu dijaga adalah agar dramatisasi tersebut tidak menciptakan kebohongan yang menyesatkan pemahaman terhadap upaya yang sedang dilakukan dan hasil yang telah dicapai" jelas Agus.