REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hukuman kepada oknum Brimob di Gorontalo yang terlibat bentrok dengan anggota Kostrad TNI dinilai tidak memenuhi rasa keadilan. Hukuman berupa teguran dan penundaan kenaikan pangkat tidak sebanding dengan korban jiwa yang mengakibatkan seorang prajurit TNI tewas.
Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin mempertanyakan hukuman itu. Mantan Sekretaris militer (Sekmil) ini tegas menyatakan, hukuman yang diberikan itu sangat ringan. Hasanuddin mengatakan hukuman tersebut patut dipertanyakan.
"Seringan itukah hukumannya? Padahal, telah menimbulkan jatuh korban, satu orang meninggal dunia dan tiga orang luka tembak. Apakah cukup penembakan itu diselesaikan lewat hukuman teguran dan penundaan pendidikan?," TB Hasanuddin mempertanyakan di Jakarta, Rabu (2/5).
Dia mempertanyakan, mengapa penundaan pendidikan harus jadi hukuman. Padahal, tidak semua orang memenuhi syarat untuk mengikuti pendidikan. Patut dipertanyakan juga bagaimana hukuman untuk anggota Kostrad yang terlibat dalam perkelahian, apakah mereka juga mendapatkan hukuman setimpal.
Masalah perkelahian antara TNI dengan Polri akhir ini semakin sering terjadi terutama di era reformasi. Hal ini, TB Hasanuddin menduga, ada masalah mendasar yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Dan salah satu penyebab dari adanya perkelahian antar angkatan atau antar korps adalah sering lemahnya penindakan dan hukuman terhadap para pelakunya.
"Tidak memberikan efek jera terhadap para pelaku lain. Panglima TNI dan Kapolri harus duduk bersama menyelesaikan masalah ini agar kasus-kasus serupa tidak terjadi lagi dimasa mendatang," TB Hasanuddin memberi saran.
Polri telah menjatuhkan sanksi kepada seorang perwira dari Satuan Brimob Gorontalo. Yakni, teguran tertulis dan 21 hari penempatan khusus. Adapun, delapan anggotanya mendapat sanksi penempatan khusus selama 21 hari dan ditunda untuk mengikuti pendidikan selama satu tahun atau satu periode.