REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan pegawai negeri sipil (PNS) tidak dapat menjadi calon legislatif (Caleg) apabila masih menjabat. Hal tersebut dinyatakan MK pada sidang putusan Pengujian Undang-Undang (PUU) Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, damn DPRD, Selasa (1/5).
"Mahkamah menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua Hakim MK, Mahfud MD saat membacakan amar putusan. Pada putusan tersebut, Mahkamah melakukan pertimbangan kedudukan PNS sebagaimana diatur dalam UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok kepegawaian.
Dalam ketentuan tersebut, MK menyatakan bahwa PNS pada pokoknya dilarang melakukan dan atau mengikuti kegiatan politik praktis. Hal itu, dimaksud sebagai upaya menjaga netralitas PNS dari pengaruh partai politik.
Selain itu, juga untuk menjamin keutuhan, kekompakan, dan persatuan PNS. "JUga dapat memusatkan perhatian kepada tugasnya saja," ungkap Mahfud.
Menurut Mahkamah, kendati setiap warga negara negara memiliki hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan umum, namun dengan adanya putusan tersebut tidak akan menghilangkan hak yang ada. Selain itu, Mahkamah juga berpandangan bahwa keharusan pengunduran diri PNS untuk berkecimpung dalam politik praktis bukanlah mengurangi hak asasi. Melainkan konsekuensi yuridis dari pilihan yang bersangkutan.
Mahfud menambahkan, ketika seseorang telah memilih untuk menjadi PNS, maka orang tersebut telah mengikatkan diri dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur birokrasi pemerintahan. Sehingga, lanjutnya, ketika mendaftarkan diri untuk menjadi calon dalam jabatan politik, maka UU dapat membatasi hak-haknya sebagai PNS sesuai dengan sistem politik dan ketatanegaraan. "PNS wajib mundur untuk jadi Caleg," ungkapnya.
Seperti diketahui, M Abduh Zen yang merupakan pemohon menguji Pasal 12 huruf k beserta penjelasan dan Pasal 67 ayat (2) UU Pemilu Legislatif. Pasal itu dinilai bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 27 ayat (3) UUD 1945. Sebab, pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan lantaran mengundurkan diri ketika mencalonkan diri sebagai anggota DPD. Pemohon pun meminta MK mengembalikan kedudukannya sebagai Dosen PNS Universitas PGRI Palembang dengan pangkat IIIc.
Dalam pandangan lain, dia menilai UU Kepegawaian sudah tepat memperlakukan PNS sebagai pejabat administrasi secara adil ketika berpeluang menjadi pejabat negara. Sementara pada UU Pemilu Legislatif memperlakukan PNS termasuk TNI, Polri, dan pengurus BUMN/BUMD secara diskriminatif tanpa filosofi yang dapat diterima.
“Pengaturan diskriminatif itu bertentangan dengan prinsip negara hukum yang mewajibkan perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” ujarnya dalam persidangan.
Sementara itu, pemerintah yang diwakili Staf Ahli Mendagri Suwarno mengkritik alasan permohonan yang dianggap karena pemohon tidak terpilih sebagai anggota DPD pada Pemilu 2009 lalu. “Tetapi jika pemohon terpilih sebagai anggota DPD, pastinya pemohon tidak akan menguji pasal itu,” ujarnya.
Karenanya, kerugian yang dialami pemohon bukanlah kerugian konstitusional, melainkan kerugian akibat pilihan hukum yang diambil untuk mengundurkan diri sebagai PNS lantaran akan mencalonkan diri sebagai calon anggota DPD. Pasal 12 huruf k dan Pasal 67 UU Pemilu Legislatif itu tidak bersifat paksaan. Sebab, pemohon dapat memilih tidak mundur dari Kementerian Pendidikan Nasional dengan tidak menjadi calon anggota DPD. “Karena itu, Pasal 12 huruf k dan Pasal 67 ayat (2) UU Pemilu Legislatif tidak bertentangan dengan UUD 1945."