Ahad 29 Apr 2012 18:49 WIB

Wapres Keluhkan Soal Azan, Ini Komentar MUI

Rep: M Akbar Widjaya/ Red: Hazliansyah
(dari kiri). Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidhan. Sekjen MUI, Ichwan Sam serta Ketua LPPOM MUI, Lukmanul Hakim menyampaikan keterangan kepada wartawan seputar Indonesia Halal Expo 2012 di Gedung MUI, jakarta, Jumat (20/4). Indonesia Halal Expo 2012
Foto: Republika/Agung Supri
(dari kiri). Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidhan. Sekjen MUI, Ichwan Sam serta Ketua LPPOM MUI, Lukmanul Hakim menyampaikan keterangan kepada wartawan seputar Indonesia Halal Expo 2012 di Gedung MUI, jakarta, Jumat (20/4). Indonesia Halal Expo 2012

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) merespons keluhan Wakil Presiden Boediono yang meminta adanya pengaturan soal ketentuan pengeras suara saat azan. Ketua MUI, Amidhan, menyatakan azan  dikeraskan bertujuan untuk memanggil orang sholat berjamaah ke masjid dan menjadi tanda telah masuknya waktu sholat.

''Itulah cirinya Islam di Indonesia. Bahkan saya rasa tidak hanya di sini saja tetapi di semua mayoritas negara muslim, termasuk juga di Malaysia,'' kata Amidhan ketika dihubungi Republika di Jakarta, Ahad (29/4).

Amidhan tak mau terlalu jauh untuk berspekulasi perihal motif wapres meminta agar suara azan tidak terlalu keras. Ia menduga, keluhan wapres ini mungkin ada kaitannya karena memperoleh keluhan dari pihak lain. Selain. ''Mungkin saja korps diplomatik,'' ujarnya.

Amidhan memahami tempat kediaman Wapres itu berada di dekat masjid Sunda Kelapa. Namun, sebagai fungsi tanda waktu sholat dan panggilan agar sholat berjamaah, ia menegaskan, tentunya tidak bermasalah jika harus dikeraskan.

''Kalau (azan) itu dilamatkan, tidak keras, ya nanti fungsi (dari azan) itu menjadi hilang. Meski harus diakuinya kalau hukum azan itu sendiri sebenarnya tidak wajib,'' katanya.

Soal keluhan semacam itu, menurut Amidhan, sebenarnya merupakan persoalan besar yang ada di kota besar seperti Jakarta. Penggunaan pengeras suara seperti memutar suara pengajian pada waktu dinihari terkadang memang cukup kurang baik. Ia mencontohkan misalnya saja pada pukul 03.00 WIB. Sementara azan subuh baru berkumandang sekitar pukul 04.00 WIB.

''Kalau masalahnya seperti ini, ya itu memang kurang baik juga,'' ujarnya.

Namun demikian Amidhan tetap mempertanyakan alasan agar suara azan dikecilkan.

Ia mencontohkan, ketika di Roma, lonceng tanda waktu kebaktian juga cukup mengganggu telinga. Begitu juga di negara-negara Eropa yang bukan menjadi tempat mayoritas muslim. Di sana suara azan memang tidak bisa dikeluarkan.

''Kalau sebagai (negara) mayoritas muslim, sebenarnya tidak perlu keberatan. Apalagi subuh. Harusnya merasa terbantu karena dibangunkan,'' katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement