REPUBLIKA.CO.ID, PAMEKASAN - Para ulama yang tergabung dalam organisasi Badan Silaturrahim Ulama Pesantren Madura (Bassra) berencana menemui pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat, terkait penolakan lima rekomendasi Komnas HAM.
Juru bicara Bassra, KH Nuruddin A Rahman, Sabtu (21/4) mengatakan, perwakilan ulama Madura perlu menghadap secara langsung kepada MUI pusat, karena lima rekomendasi yang disampaikan Komnas HAM dinilai sangat berbahaya.
"Rencananya tanggal 29 April ini kami akan datang ke MUI pusat di Jakarta guna menyampaikan hal ini," kata Nurddin.
Ia menjelaskan, kedatangan ulama Madura ke Jakarta itu, setelah menemui komisi 8 DPR RI pada tanggal yang sama, guna menyampaikan surat penolakan kepada pimpinan DPR.
Nuruddin menjelaskan, hal itu juga dilakukan sebagai tindak lanjut atas hasil pertemuan para ulama Bassra bersama dua anggota Komisi 8 DPR RI di gedung Islamic Centre, Pamekasan pada tanggal 14 April lalu.
Dalam pertemuan yang dihadiri dua anggota DPR RI asal Madura itu, yakni MH Said Abdullah dan Ach Rubai'e, Bassra menyatakan, menolak rekomendasi tersebut dan akan mengirin surat kepada pimpinan DPR RI.
Hal mendasar yang menjadi sorotan pada ulama adalah rekomendasi pernikahan Komnas HAM agar menghapus undang-undang yang mengatur pelarangan nikah beda agama dan guru agama dari pemeluk agama yang sama di lembaga pendidikan.
Oleh karena itu, katanya, ulama se-Madura sepakat menolak lima rekomendasi Komnas HAM tersebut, dan meminta Presiden dan pimpinan DPR RI tidak melaksanakan rekomendasi yang menurut dia merugikan umat Islam dan bisa mengancam kerukunan umat beragama.
Lima rekomendasi yang disampaikan Komnas HAM belum lama ini menyebutkan, pertama, menghapus larangan beda agama, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Bassra menilai, rekomendasi ini akan merusak norma-norma agama, khususnya umat Islam, karena pernikahan beda agama jelas dilarang dalam Islam.
Kedua, komisi ini merekomendasikan agar agar pencantuman agama dalam berbagai atribut kependudukan termasuk dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 hendaknya dihapus.
Rekomendasi ketiga menyoal tentang Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Perlindungan Agama dari Penodaan karena dianggap membatasi kebebasan beragama warga negara dengan mencap sesat orang yang berbeda keyakinan dengan kelompok mayoritas.
Para ulama Madura berpendapat, jika undang-undang ini dihapus, maka nantinya kemurnian agama bisa ternodai dengan alasan karena adanya kebebasan dalam menjalankan agama yang keyakinannya masing-masing.
Rekomendasi keempat Komnas HAM yang juga ditolak para ulama di Madura ini adalah tentang Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 Tahun 2006 (yang populer disebut SKB 2 Menteri).
Menurut rekomendasi tersebut SKB 2 Menteri itu menghambat kebebasan mendirikan rumah ibadah di kalangan kelompok minoritas, seperti yang terjadi pada kasus gereja GKI Yasmin Bogor.
Sementara, rekomendasi kelima, Komnas HAM menginginkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan yang mengharuskan peserta didik mendapatkan pelajaran agama dan guru agama yang beragama sama hendaknya dihapus.
"Saya kira penolakan tentang lima rekomenasi Komnas HAM ini tidak hanya dari ulama Madura, akan tetapi, juga dari semua ulama di Indonesia ini," kata juru bicara Bassra KH Nuruddin A Rahman.