REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat ini industri kecil dan menengah (IKM) khususnya produsen batik mulai kesulitan mendapatkan bahan baku. Ini terjadi karena gencarnya ekspor bahan baku penguat warna batik.
"Selama ini, pasokan gondorukem atau getah pohon pinus yang merupakan salah satu bahan penguat warna dalam pembuatan batik banyak yang diekspor. Banyaknya negara yang memproduksi batik menyebabkan pasokan gondorukem semakin sulit didapatkan," kata Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah (IKM) Kementerian Perindustrian, Euis Saedah, saat dihubungi di Jakarta, Selasa (17/4) malam.
Menurut Euis, produksi gondorukem nasional hanya 80 ribu ton per tahun dan dipasok dari PT Inhutani I dan III di Sumatra dan Sulawesi, sedangkan kebutuhan dalam negeri mencapai 70 ribu ton per tahun. Namun ada kekurangan sekitar 20 ribu ton per tahun karena bahan baku tersebut banyak diekspor.
"Saat ini batik sudah mulai mendunia dan banyak negara yang ikut memproduksi batik. Sejumlah negara yang memproduksi batik antara lain Malaysia, Turki, Cina serta negara di Afrika dan Eropa Timur, dan ini mengakibatkan produsen di dalam negeri kesulitan bahan baku," paparnya.
Kementerian Perindustrian melalui Direktorat Jenderal IKM, menurut Euis, akan melakukan penambahan mesin produksi gondorukem. Selain itu pemerintah juga berharap Inhutani mengurangi ekspor dan memprioritaskan kebutuhan gondorukem dalam negeri.
"Untuk meningkatkan produksi gondorukem, pemerintah akan membeli satu mesin produksi gondorukem seharga Rp 300 juta. Untuk menutupi kekurangan gondorukem, produsen batik banyak mengimpor dari Cina," tuturnya. Euis juga mengatakan bahwa masalah pendanaan di sektor IKM masih menjadi kendala. Selama ini pihak perbankan kurang tertarik untuk mengeluarkan dananya untuk IKM, sehingga ini semakin mempersulit pelaku usaha untuk bertahan.