REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berharap, terdakwa perkara kasus suap cek pelawat, Nunun Nurbaeti mau membongkar pihak yang berada di balik perkara kasus yang membelitnya. Sebab, bila Nunun masih tutup mulut, justru hal itu bakal membuat posisinya kian rumit.
"Nunun bisa menggunakan kesempatan ini untuk menjelaskan perannya apakah dia bekerja sendiri atau ada yang pesan," kata Wakil Ketua KPK Bambang WIdjodjanto kepada Republika, Senin (16/4) pagi.
Nunun akan menjalani sidang lanjutan dengan agenda pemeriksaan sebagai terdakwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, hari ini, Senin (16/4). Bambang menilai, jika Nunun tidak mengungkap siapa yang ada di belakangnya, maka Nunun akan dalam posisi rumit. Sehingga, menurut Bambang, Nunun harus menjelaskan perkara ini dengan sebaik-baiknya.
Dihubungi terpisah, Kuasa Hukum Nunun, Mulyaharja mengatakan kliennya akan memberikan keterangan sesuai dengan BAP (Berita Acara Pemeriksaan). "Iya hari ini agenda sidang keterangan terdakwa. NN (Nunun Nurbaetie) akan memberikan keterangan sesuai BAP (Berita acara pemeriksaan) sebelumnya," kata kuasa hukum Nunun, Mulyaharja melalui pesan singkatnya, Senin (16/4) pagi.
Biasanya, agenda sidang Nunun dimulai sejak pukul 09.00 WIB. Setiap sidang, Nunun biasanya mendapat pengawalan khusus dari pihak kepolisian yang membuat pagar betis saat Nunun masuk atau keluar dari ruang sidang. Jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa Nunun melakukan suap terkait pemenangan Miranda Goeltom selaku Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia pada 2004 di Pengadilan Tipikor Jakarta.
JPU pada Komisi KPK dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta mendakwa Nunun telah melakukan suap terhadap sejumlah anggota dewan periode 1999-2004.
Istri dari anggota Komisi III DPR, Adang Daradjatun itu didakwa dengan pasal penyuapan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena diduga melakukan penyuapan dengan pembagikan 480 lembar cek perjalanan kesejumlah anggota dewan senilai Rp 24 miliar. Muhammad Hafil