REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kabar dicabutnya peringatan dini tsunami oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) disambut gembira dan rasa syukur masyarakat Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Kendati begitu, masyarakat Aceh tetap waspada dan siaga terhadap gempa susulan ataupun tsunami.
Iriansyah Putra, warga Aceh yang sedang mengungsi ke dataran tinggi di kawasan Sibreh mengatakan, warga khawatir akan gempa susulan. "Kami dengar pencabutan peringatan tsunami, tapi masih cemas," kata dia.
Menurut mahasiswa Universitas Syah kuala Banda Aceh ini, pascapencabutan status peringatan dini tsunami, sebagian warga memang sudah kembali ke rumah masih-masing. "Sudah ada beberapa (warga) yang pulang ke rumahnya. Kembali memantau rumahnya, takut terjadi penjarahan," ungkap dia.
Saat ini, sebagian besar wilayah di Banda Aceh gelap gulita akibat pemutusan listrik oleh PLN. Pemutusan listrik itu semakin menambah kekhawatiran warga. Pasalnya, dalam kondisi seperti sekarang, potensi terjadinya pencurian dan penjarahan semakin besar.
Sekarang, masyarakat Aceh memilih berkumpul di lokasi-lokasi yang menjadi pusat jalur evakuasi. Jalur evakuasi tersebut berada di empat titik Escape Building, yakni di Ulee Lheu dua lokasi, desa Lambung satu lokasi, dan di Desa Lampaseh.
Sebelumnya, BMKG mengakhiri peringatan dini tsunami yang dikeluarkan terkait gempa bumi berkekuatan 8,1 Skala Richter yang mengguncang Aceh. "BMKG secara resmi mengakhiri peringatan dini tsunami," kata Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Suhardjono di Jakarta, Rabu (11/4).
Peringatan dini tsunami diakhiri oleh BMKG pada pukul 19.45 WIB setelah adanya konfirmasi bahwa gempa bumi yang terjadi tidak berdampak menimbulkan tsunami. Gempa bumi kuat berpusat di Kabupaten Simeulue, Aceh sehingga BMKG mengeluarkan peringatan dini tsunami untuk Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung dan Bengkulu. Namun, gempa bumi hanya menimbulkan tsunami setinggi 80 cm di Meulaboh Kabupaten Aceh Barat dan 60 cm di Sabang.