REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Stevy Maradona/ Wartawan Republika
Susah payah Brooks Hatlen mengukir namanya di palang kayu yang melintang di langit- langit di kamarnya. Ia menuliskan, “Brooks was here” dengan pisau buah di palang itu. Pria renta ini mengenakan pakaian terbaik dan pa ling rapi yang ia punya. Setelan jas dan celana abu-abu serta sepatu mengkilat. Wajahnya semringah.
Sesaat kemudian ia naik ke kursi yang ia tum puk di atas meja. Mengalungkan seutas tambang ke leher yang sudah keriput. Kakinya lalu berayun ke kanan dan ke kiri, hingga akhirnya jatuh dari kursi. Bunyi “ krreekkkk” terdengar pelan. Kaki Brooks sempat menendang-nendang udara ko song lalu gerakan itu terhenti total. Suasana da lam kamar itu kembali hening. Seperti sebelum Brooks datang kurang dari sepekan lalu.
Sebelum memutuskan gantung diri, Brooks sem pat kirim surat ke teman-teman narapidana nya di penjara Shawshank. Ia curhat bagaimana bingungnya ia menghadapi dunia di luar terali besi. Ia terkaget-kaget melihat mobil lalu lalang. Ia sempat didamprat karena menyeberang jalan dengan kikuk.
Di supermarket, tempatnya bekerja, ia juga kena omel. Tangannya yang kena rematik tak bisa lincah memasukkan barang belanjaan ke kantong kertas. Brooks frustrasi dengan dunia bebas. Ia bahkan punya rencana untuk membunuh manajer supermarket agar bisa kembali ke Shawshank. Di Shawshank ia merasa hidup di tengah keluarganya karena Brooks tinggal sebatang kara. Di penjara, dia juga punya jabatan penting: jadi kurir buku perpustakaan untuk para napi. Tapi, akhirnya Brooks lebih memilih bunuh diri.
Cuplikan dari film “Shawshank Redemption” ini memperlihatkan bagaimana sisi psikologis napi di salah satu penjara AS. Bahwa mereka ketakutan benar kalau dibebaskan. Karena, meng anggap selepas tembok tinggi dan kawat berduri itu, ada komunitas yang tidak mengerti dan tak mau menerima siapa mereka.
Tapi, ini kisah sedih Brooks Hatlen. Ada pula film Prancis berjudul “Un Prophete” yang mengisahkan remaja Arab, Malik El Djebena, yang sukses menjadi raja mafia narkoba dari balik penjara. Malik dimanfaatkan oleh geng narkoba Sisilia. Awalnya, untuk jadi kurir narkoba selama ia menjalani masa pembauran di masyarakat.
Film keluaran 2009 ini gamblang memperlihatkan bagaimana kongkalikong sipir penjara de ngan geng narkoba agar mereka bisa tetap berbisnis seperti biasa. Bagaimana napi bisa men dapat ponsel, menyembunyikan ponsel kalau ada razia, mengatur komunikasi dengam distri butor narkoba di luar penjara, mengatur rekening transaksi narkobanya dengan rapi lewat akuntan dengan pengacara.
Bisnis narkoba dari balik penjara malah makin besar dan kuat. Kalau perlu, tak usah keluar penjara karena ada risiko dibunuh saingan geng narkoba lainnya. Dari balik jeruji besi itu, Malik belajar banyak soal bisnis narkoba. Ia bahkan bisa menjalin bisnis sampingan dengan distributor narkoba lainnya di luar penjara. Hingga akhirnya Malik bisa menyingkirkan mafia Sisilia yang mengajarinya itu dan ia menjadi bos tertinggi.
Setelah enam tahun dipenjara, Malik bebas. Bila masuk penjara dulu Malik diantar dengan truk polisi, keluar penjara ia dijemput dengan mobil mewah. Siapa bilang penjara tak bisa membuat hidup “lebih baik”?
Inilah yang ingin dibasmi Wamenkumham Denny Indrayana dan Badan Narkotika Nasional di sejumlah lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Mereka tahu betul bagaimana bisnis narkoba Tanah Air justru dikendalikan dengan profesional dari balik jeruji. Mafia yang mereka hadapi layaknya mafia dalam film “Un Prophete” itu.
Mafia bekerja sama dengan birokrat korup. Sipir mau menerima uang haram narkoba meski su ah digaji negara. Bahkan, seorang kepala lapas di Pulau Nusa Kambangan dengan mudah me reka pengaruhi untuk jadi antek mafia narko ba. Soal etika penegakan hukum? Itu nomor kesekian. Yang penting duit dan ini memang jadi ke lemahan aparat sipir, mengalir ke kantong pribadi.
Pemberantasan narkoba pun jadi seperti lingkaran setan. Bandar narkoba ditangkap, diadili, lalu dipenjara. Tapi, dari penjara ia tetap ban dar narkoba. Bisnisnya berjalan baik. Sel huniannya mewah, ada televisi layar datar, karpet, pendingin ruangan, sofa. Ia bebas punya ponsel. Tak ada lagi kata jera.
Apa yang kurang untuk memberangus mafia dari balik penjara ini? Ditjen Pemasyarakatan mengatakan yang kurang adalah SDM. Rasio sipir dan napi tak seimbang, lebih besar napi. Mungkin teknologi? Bisa jadi sudah saatnya lapas-lapas dirombak dan dimodernisasi. Sistemnya bisa di buat agar sebisa mungkin napi narkoba diisolasi.
Tapi, saya rasa ini semua berpulang pada moral manusianya. Sipir yang tak bermoral, biarpun jutaan banyaknya dan penjara secanggih apa pun, bakal bisa kerja sama dengan mafia penjara. Sipir yang bermoral, meski gaji sederhana, insya Allah bisa menahan godaan.
Ini seperi iklan antikorupsi dari Partai Demo krat yang terkenal itu, “Katakan tidak pada korupsi!” Tapi ya itu tadi, yang bikin iklan saja kini tersangkut kasus korupsi di mana-mana. Dan, kita pun bingung mau mendapat panduan moral dari mana dan siapa.