REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menilai kondisi keuangan daerah semakin kritis dan mengkhawatirkan. Kepala Divisi Pengembangan Jaringan Seknas FITRA, Hadi Prayitno, mengungkapkan, perilaku boros pemerintah daerah (Pemda) yang menguras separuh lebih anggarannya hanya untuk membiayai belanja pegawai mengantarkan mereka menuju jurang kebangkrutan.
Untuk menyelamatkan daerah dari ancaman kebangkrutan, FITRA meminta segera dilakukannya perubahan kebijakan sebagai berikut: ''Pertama, hentikan Politisasi Birokrasi,'' ujar Hadi.
Menurut Hadi, pembinaan PNSD di bawah Kepala Daerah menjadi salah satu pemicu praktik rekruitmen yang tidak didasarkan pada pertimbangan kebutuhan riil personel serta kemampuan keuangan daerah. ''Mengingat Kepala Daerah adalah pejabat politik, maka merekrut sebanyak mungkin PNSD merupakan insentif politik untuk merawat tim suksesnya dengan menggunakan uang rakyat. Klausul yang terdapat pada UU 32/2004 tentang Otonomi Daerah ini harus segera diubah.''
Kedua, kata dia, keluarkan Belanja Pegawai dari Perhitungan Alokasi Dasar DAU. ''Kuncinya adalah dengan segera merevisi UU 33/2004 tentang perimbangan keuangan pusat daerah, lalu memasukkan formula dana perimbangan baru yang memberikan insentif bagi daerah yang berhasil meningkatkan pendapatannya dan mengurangi belanja pegawainya.''
Ketiga, lanjut Hadi, pembatasan jumlah organisasi di kabupaten dan kota. Menurutnya, pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan harus bertindak cepat untuk membuat batasan jumlah maksimal organisasi yang ada di tingkat kabupaten/ kota.
Hal ini dengan pertimbangan bahwa sebenarnya satu organisasi mampu bekerja untuk mengendalikan beberapa urusan. Faktanya sebagian besar kabupaten jumlah organisasinya justru disesuaikan dengan jumlah urusan yang menjadi tanggungjawab pemda. Inilah yang mengakibatkan semakin bertambahnya personel setiap tahunnya.
''Teruskan moratorium rekruitmen PNSD. Kebijakan moratorium yang telah dibuat pemerintah sejak tahun 2011 harus diteruskan sampai tahun 2014. Dengan begitu laju pertumbuhan jumlah pegawai dapat dikendalikan. Sehingga setelah Pemilu 2014 pemerintah harus menyusun rasio jumlah pegawai secara tepat. Oleh karenanya, standar rasio pegawai tidak hanya berdasarkan jumlah penduduk, namun juga memasukkan kondisi geografis dan kemampuan fiskal daerah,'' paparnya.