Rabu 04 Apr 2012 15:12 WIB

Soal Koalisi, PKS Pilih Dikeluarkan SBY

Bendera Partai Keadilan Sejahtera.  (Foto : Yogi Ardhi / Republika)
Bendera Partai Keadilan Sejahtera. (Foto : Yogi Ardhi / Republika)

REPUBLIKA.CO.ID, BANJARMASIN  -  Soal keanggotaan dalam koalisi, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menunggu sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mengeluarkan atau tidak. Pernyataan itu dikemukakan Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKS Koordinator Wilayah Kalimantan H Riswandi, di Banjarmasin, Rabu, berkaitan dengan polemik koalisi parpol pendukung partai pemerintah (Partai Demokrat).

Ia menyatakan tak ada persoalan bagi PKS bila dikeluarkan dari koalisi parpol pendukung partai pemerintah. "Sebab, keluar dari koalisi merupakan tuntutan seluruh elemen PKS saat Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) partainya di Medan Sumatera Utara (Sumut) beberapa waktu lalu," tandas Wakil Ketua DPRD Provinsi Kalimantan Selatan itu.

Bahkan, dia menegaskan, partainya tidak takut mendapatkan dampak kalau ada menteri dari PKS yang dicopot. "Silakan jika konsekuensi dikeluarkan dari koalisi, para menteri dari kader PKS di kabinet SBY ada yang dicopot," lanjut anggota DPRD Kalsel dua periode dari partai tersebut.

Seandainya dikeluarkan dari koalisi, ia meyakini PKS tetap jalan dan roda organisasi partainya tetap bekerja, serta tidak merasa dirugikan. Mengenai penolakan rencana pemerintah menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) atau tidak seirama dengan koalisi, dia membantah, hal kalau sikap PKS tersebut memanfaatkan momen untuk pencitraan partainya.

"Karena, PKS tidak akan tinggal diam, kalau masyarakat menjerit dan dirugikan dengan kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat," tandasnya. "Tapi bila PKS keluar dari koalisi, akan tetap menjadi partai opisisi yang baik. Artinya, jika ada kebijakan pemerintah yang baik akan didukung dan sebaliknya kalau tak berpihak pada rakyat, PKS akan keras dan bereaksi untuk menolak," lanjutnya.

Ia mencontohkan, PKS yang menyuarakan aspirasi masyarakat untuk menolak kenaikan harga BBM, seperti terjadi belakangan ini. "Karena, partai politik merupakan representasi suara masyarakat. Apalagi, sesuai hasil survei 87 persen masyarakat Indonesia menolak kenaikan harga BBM," demikian Riswandi.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement