REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Dosen dan mahasiswa ITS Surabaya agaknya tidak segan-segan mencecar Menteri BUMN Dahlan Iskan dengan pertanyaan seputar perlunya kontrak ulang minyak dan gas dengan asing yang merugikan Indonesia.
"Apa tidak mungkin kita meminta migas milik kita sendiri yang sudah kita kontrakkan kepada Singapura, Amerika, dan sebagainya, karena alasan kita sendiri kekurangan," ucap Guru Besar ITS Prof Ir Soegiono.
Tentu saja, pertanyaan dari mantan Rektor ITS itu mengundang pertanyaan yang sama dari sejumlah mahasiswa yang mengikuti Kuliah Bung Karno untuk Kebangsaan dan Teknologi di Gedung Robotika ITS Surabaya, 31 Maret lalu.
Pertanyaan itu ditanggapi Menteri BUMN Dahlan Iskan yang juga asli Jawa Timur itu dengan menyodorkan optimisme yang justru mengundang aplaus ratusan peserta kuliah kebangsaan itu.
"Kita sudah sepakat menjadi negara demokrasi. Oleh karena itu, kita tidak boleh bersikap totaliter. Ciri negara demokrasi adalah menghormati kontrak atau komitmen yang sudah ada pada masa lalu yang saat itu mungkin tidak rugi," ucapnya.
Bahkan, tutur mantan Direktur Utama PT PLN itu, jika Indonesia tidak menghormati kontrak atau komitmen yang sudah terlanjur ada, Indonesia justru akan tidak dipercaya negara lain.
"Tapi, bukan berarti tidak ada solusi, ya, solusi yang mungkin justru harus dilakukan secara demokratis pula, yakni merayu negara lain untuk melakukan negosiasi harga untuk menyesuaikan dengan harga saat ini," tukasnya.
Ia mencontohkan sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sudah dua kali melakukan renegosiasi dengan RRC terkait dengan kontrak gas. "Kalau kita jual sekarang, kita memang bisa hemat ratusan triliun rupiah," paparnya.
Namun, ungkap jurnalis senior itu, pemerintah tidak bisa bersikap mundur lagi, kecuali renegosiasi itu. "Alhamdulillah, ketika saya mengikuti kunjungan kerja Presiden ke Cina pada akhir Maret lalu, pemerintah RRC menyanggupi," kilahnya.
Lebih dari itu, ujarnya, pola kontrak yang sudah terlanjur ada pada masa lalu hendaknya menjadi pelajaran untuk tidak mengulangi kontrak baru dengan cara serupa yang merugikan, melainkan harga harus mengikuti harga yang berkembang atau mempertimbangkan kebutuhan di dalam negeri.
Mendengar komentar Dahlan Iskan itu, seorang mahasiswa justru mengkritik media massa yang kini banyak menyajikan informasi yang seolah-olah Indonesia "hancur-hancuran", tetapi pemerintah tidak menyerang balik.
"Itu sudah risiko pemerintah, apalagi pemerintah sekarang sudah tidak boleh memiliki media massa lagi, bahkan TVRI sekarang juga bukan milik pemerintah, tetapi publik. Justru, Anda harus berpikir untuk 10 tahun ke depan, jangan berpikir untuk saat ini saja," timpalnya.