Rabu 28 Mar 2012 15:55 WIB

INDEF : Kenaikan Harga BBM Harus Ditunda

Rep: Fitria Andayani/ Red: Hazliansyah
Pembatasan BBM bersubsidi (ilustrasi)
Pembatasan BBM bersubsidi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- INDEF menyarankan pemerintah untuk menunda kenaikan harga BBM. Mereka menilai, manfaat yang diperoleh dari upaya menaikkan haga BBM lebih kecil ketimbang biaya sosial ekonomi yang harus ditanggung.

Ketua INDEF, Erani Yustika menyatakan, sebenarnya keputusan untuk menaikkan harga BBM dapat diterima. Pemerintah menurutnya, memang harus merespon harga minyak dunia yang terus naik dalam beberapa waktu terakhir. "Kami bisa pahami rencana itu. Tapi bukan berarti pemerintah lantas mengambil langkah menaikkan harga," ujarnya, Rabu (28/3). Terlebih karena selama ini APBN dianggap semakin menjauh dari tujuan menyejahterakan rakyat.

Menurutnya, APBN periode 2004 hingga 2012 rata-rata tumbuh 19,05 persen dan belanja pemerintah pusat tumbuh 16,6 persen. Tapi belanja pegawai tumbuh 19,6 persen dan belanja barang tumbuh 38 persen pada periode yang sama. "Ini artinya, politik fiskal selama ini hanya untuk menyantuni birokrasi, bukan kesejahteraan masyarakat," katanya. Oleh karena itu, argumen bahwa subsidi sebagian besar dinikmati oleh kelompok kaya menjadi kurang bermakna karena struktur APBN sendiri justru menunjukkan alokasi yang sedemikian besar untuk birokrasi.

Selain itu, lanjut Erani, kesejahteraan ekonomi masyarakat pasti akan terpukul dengan kenaikan harga BBM ini karena harga-harga barang merangkak naik. Bahkan sebelum kebijakan kenaikan BBM diumumkan pemerintah. "Sebelum ada wacana kenaikan BBM, harga cabai rawit masih Rp 22 ribu, namun setelah isu kenaikan BBM berhembus, harganya naik hingga Rp 32 ribu," katanya. Kenaikan harga ini dipastikan akan bertambah tinggi lagi jika harga BBM nantinya benar-benar dinaikkan seperti yang diinginkan pemerintah.

Berdasarkan perhitungan INDEF, dengan kenaikan BBM sebesar Rp 1.500 per liter maka pertumbuhan ekonomi diperkirakan merosot menjadi 5,8 persen. Penurunan pertumbuhan ekonomi ini antara lain disebabkan oleh investasi yang jatuh akibat kenaikan suku bunga kredit. Sementara inflasi melonjak 3-4 persen sehingga daya beli masyarakat jatuh, di mana kaum miskin daya belinya berkurang sekitar 10 -15 persen.

Selain itu, jumlah kemiskinan meningkat 1,1 - 1,3 persen atau sekitar 1,5 juta penduduk akibat penurunan daya beli, meskipun aneka skema kompensasi sudah dijalankan. Secara keseluruhan pendapatan nasional atau PDB berkurang Rp 125 triliun dibandingkan apabila BBM tidak dinaikkan sehingga pertumbuhan ekonomi 6,5 persen. "Dampak tersebut masih bisa diteruskan efeknya terhadap kenaikan pengangguran, penurunan ekspor, dan lain sebagainya," ujarnya.

Dengan segara hal negatif tersebut, Erani menyatakan, pemerintah sebaiknya menunda kenaikan harga BBM atau menaikkan namun dengan sejumlah syarat. Pemerintah diminta untuk menunjukkan pemihakan kepada masyarakat, bukan untuk kepentingan birokrasi, pembayaran utang, dan fasilitas korupsi dalam APBN. "APBN yang sehat ditunjukkan oleh kriteria-kriteria tersebut," katanya.

Pemerintah juga diminta untuk melakukan reforma agraria yang sudah dicanangkan sejak 4 tahun lalu. "Ini harus dilaksanakan dan dituntaskan, sehingga rata-rata luas lahan rumah tangga petani menjadi 2 hektare," katanya. Struktur tenaga kerja pun harus diupayakan menjadi pekerja formal sekitar 75 persen dan sisanya pekerja informal. Caranya dengan menumbuhkan sektor pertanian dan industri berbasis pertanian dan SDA dan pelaku UMKM.

Pemerintah pun perlu melakukan moratorium pembangunan pasar modern dan mendongkrak serta memperkuat pelaku pasar tradisional. Selain itu, mengembalikan pengusaan pengelolaan SDA kepada negara dan swasta asing. Sedangkan domestik diberi peran maksimal 20 persen. Pengembangan energi alternatif telah dijalankan dan infrastruktur BBG dan yang lain sudah memadai.

Erani menyatakan, pemerintah masih memiliki alternatif lain dalam merespon kondisi global saat ini. Bukan hanya dengan melakukan penghematan dengan memotong subsidi BBM atau anggaran kementerian dan lembaga. "Alternatif lainnya adalah dengan mengutak-atik penerimaan. Salah satunya dari pajak dengan menaikkan tax ratio," ujarnya.

Erani menyatakan, keputusan untuk menaikkan harga BBM bisa saja berubah ketika sidang paripurna pada Jumat mendatang dilaksanakan. Walaupun saat ini, opsi tersebut memiliki ruang yang besar untuk disetujui mengingat badan anggaran telah menyetujui pemerintah untuk melakukan penyesuaian harga. "Namun bila penolakan masyarakat makin keras dan masif, bukan tidak mungkin konstalasi politik bisa diubah. Partai politik pasti mempertimbangkan kondisi tersebut," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement