REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Pemerintah akan menurunkan pasukan TNI (Tentara Nasional Indonesia) dalam penanganan aksi unjuk rasa anti kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang akan meningkat pada pekan ini. Para mantan aktivis 1998 mengkhawatirkan dengan diturunkannya pasukan TNI akan mengulangi kejadian berdarah pada Mei 1998 lalu.
"Ini jelas sangat mengkhawatirkan. Saat pasukan TNI berhadapan dengan rakyat, akan jatuh korban secara fisik dan pasti ada yang meninggal dunia," kata salah satu mantan aktivis 98, Miksil Mina Munir di sela-sela pembacaan petisi tolak pelibatan TNI dalam penanganan unjuk rasa kenaikan harga BBM di Cikini, Jakarta, Ahad (25/3).
Miksil menambahkan aksi unjuk rasa tersebut merupakan bentuk kegelisahan masyarakat terhadap rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Dengan melibatkan pasukan TNI, menurutnya hal ini merupakan kemunduran luar biasa.
Pasalnya usai demonstrasi besar-besaran pada 1998/1999, tentara yang diminta untuk kembali ke barak, malah diturunkan kembali ke jalanan untuk berhadapan dengan rakyat. Sebagai seorang demokrat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seharusnya menarik tentara dan mengembalikan mereka ke perbatasan-perbatasan untuk mencegah adanya penyelundupan minyak ke luar negeri.
"Seharusnya tentara TNI berhadapan dengan kekuatan luar negeri, bukan para aktivis pro demokrasi," jelas aktivis dari Forum Kota (Forkot) ini.
Sementara itu, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Alvon Kurnia Palma mengatakan dengan diturunkannya pasukan TNI dalam pengamanan demo anti kenaikan harga BBM mempertegas adanya pengembalian pasukan TNI dalam ranah politik.
"Unjuk rasa dianggap anti demokrasi dan wajib untuk 'diselesaikan' demi stabilitas melalui pasukan TNI. Ini pernah dilakukan Soeharto," tegasnya.