REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Rencana pemerintah untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) menimbulkan maraknya aksi unjuk rasa masyarakat yang ditindak dengan aksi represif dari pihak aparat kepolisian. Selama tiga bulan awal 2012 ini, setidaknya ada sebanyak 461 pendemo yang ditangkap polisi.
"Ada sekitar 461 orang yang ditangkap dari seluruh aksi demonstrasi yang menentang kenaikan BBM dari Januari sampai Maret 2012," kata salah satu mantan aktivis 1998, Usman Hamid, yang ditemui usai pembacaan petisi penolakan pelibatan TNI dalam pengamanan unjuk rasa anti kenaikan harga BBM di Cikini, Jakarta, Ahad (25/3).
Usman menambahkan, aksi represif pihak kepolisian ini merupakan pembenaran bagi pihak kepolisian dalam menangani aksi unjuk rasa menentang kenaikan harga BBM. Apalagi beberapa waktu lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan jika dirinya terancam karena menjadi sasaran tembak, yang malah dibantah Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Letjen TNI Marciano Norman.
Hal ini diperparah dengan pembenaran dari pemerintah untuk melibatkan pasukan TNI dalam penangani aksi unjuk rasa tersebut. Menurut Dewan Nasional Federasi Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) ini, pelibatan TNI menjadi pembenaran dalam pelaksanaan Rancangan Undang Undang Keamanan Nasional (Kamnas).
Padahal dalam UU yang selama ini berlaku, misalnya UU tentang keadaan bahaya dan darurat, kalau dampaknya tidak meluas dan cukup ditangani pihak kepolisian. Aksi unjuk rasa ini, menurutnya tidak dapat dikatakan mengancam keberadaan negara atau mengancam keberadaan pemerintah. Maka itu, ia menegaskan pengerahan pasukan TNI tidak dibenarkan.