REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi pada awal April mendatang terus mendulang berbagai reaksi dan kritikan. Salah satunya dari anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Dewi Aryani. Menurut dia, pemerintah sebaiknya menaikkan cukai rokok sebesar 100 persen ketimbang harga BBM bersubsidi menjadi Rp6 ribu per liter.
"Penaikan cukai rokok ini merupakan salah satu solusi alternatif agar Pemerintah tidak perlu menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar Rp1.500/liter dari harga Rp4.500/liter pada bulan depan," kata wakil rakyat dari Daerah Pemilihan Jawa Tengah XI (Kabupaten Brebes, Kabupaten Tegal, dan Kota Tegal) di Semarang, Sabtu (24/3).
Sebelumnya, Kementerian Keuangan telah mengeluarkan beleid (kebijakan) dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 167/PMK.011/2011 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau yang terbit 9 November 2011. Beleid ini mulai berlaku pada 1 Januari 2012.
Adapun rata-rata kenaikan cukai rokok bervariasi untuk setiap golongannya. Misalnya, rokok jenis sigaret keretek mesin (SKM) golongan I dengan harga jual lebih dari Rp660 per batang atau per gram cukainya Rp355 dari sebelumnya Rp325.
Pemerintah lantas menaikkan target penerimaan cukai 2012 menjadi Rp72,4 triliun, sebelumnya pada 2011 sebesar Rp69 triliun. Dengan demikian, kata Dewi, jika menaikkan lagi sebesar 100 persen, penerimaan pajak itu menjadi Rp144,8 triliun per tahun.
"Apalagi jika cukai rokok dinaikkan sampai 300 persen. Buat pencandu rokok, cukai rokok dinaikkan 300 persen pun mereka akan tetap beli rokok," analisa kandidat Doktor Administrasi dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia.
Anggota Komisi VII (Bidang Energi, Sumber Daya Mineral, Riset & Teknologi, dan Lingkungan Hidup) DPR RI itu berpendapat jika konsumen keberatan dengan harga rokok itu, mereka akan mengurangi pembelian rokok. Hal ini justru menguntungkan bagi pemerintah di satu sisi, dan masyarakat di sisi lain karena kesehatan akan lebih terjamin.
Dewi berpendapat, pemerintah sebenarnya banyak memiliki peluang untuk menambah pemasukan negara. Namun, untuk melakukan hal itu perlu kearifan berpikir dengan nurani sehingga semuanya atas pertimbangan kepentingan rakyat.
Ia mencontohkan Singapura. Sebungkus rokok buatan Indonesia di negara itu mencapai Rp80 ribu, sementara rokok dengan merek yang sama di Indonesia hanya dihargai Rp12 ribu per bungkus. Namun, pada kenyataannya mereka tetap membeli rokok karena seolah-olah 'tak bisa hidup tanpa rokok'. "Lagi pula, harga rokok naik tak akan berdampak terhadap harga bahan bahan pokok dan lainnya," tuntas Dewi.