REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Lebih dari satu dekade pascareformasi, kabar tentang konflik di beberapa daerah di Indonesia kerap terdengar. Bahkan, tanah-tanah Indonesia dipelosok daerah, terutama di luar pulau Jawa, hampir seluruhnya menuai konflik.
"Setiap jengkal tanah seperti terbakar oleh konflik," ujar Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Nusantara (AMAN), saat konferensi pers Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara ke-13 di Goethe Institute, Menteng, Jakarta Selatan, Sabtu (17/3).
Menurut Abdon, permasalahan hak-hak atas tanah tidak bisa ditangani karena hukum di Negara Indonesia tidak dirubah. Hukum negara tidak bisa bersatu dengan adat tanpa adanya perubahan.
Abdon mengemukakan, konflik agraria ini sudah ada sejak dulu, namun tidak ada penyelesaian. Kesalahan bukan pada masyarakat adat, tetapi pada pemerintah yang semena-mena membuat peraturan. Pemerintah memperbolehkan perusahaan swasta mengambil alih sumber daya alam dengan leluasa. Izin-izin usaha perkayuan, perindustrian, dan pertambangan diberikan bebas kepada investor asing. Namun, masyarakat adat yang hidup di tanah tersebut justru tidak menikmati hasilnya.
AMAN sendiri merupakan sebuah organisasi kemasyarakatan adat yang beranggotakan komunitas-komunitas adat. Organisasi AMAN merupakan wadah para masyarakat adat untuk berjuang membela hak-hak mereka. Dibentuk pada tahun 1999 lalu, dan saat ini sudah beranggotakan 1696 komunitas adat dengan populasi sekitar 15-17 juta. "Semuanya tersebar diseluruh Nusantara Indonesia," kata Abdon menjelaskan.