REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Praktik kejahatan dalam bisnis perhutanan telah lama mendapat gugatan dari masyarakat luas. Sayangnya, Undang-Undang (UU) Perkebunan atau kehutanan tak cukup kuat untuk memupus pelanggaran yang terjadi, seperti kerusakan lingkungan dan kerugian negara akibat kongkalikong antara pebisnis dan pemilik otoritas di wilayah perkebunan.
Karena itu, menurut Penilit Indonesian Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, diperlukan upaya luar biasa untuk menjerat pelaku kejahatan di sektor kehutanan, yakni dengan menggunakan UU Tindak Pidana Korupsi. Dia mengatakan, dalam kurun waktu 2004-2009, setidaknya Indonesia telah kehilangan 2,31 juta hektare per tahun akibat kejahatan hutan.
Bahkan, pada data 2011, ICW mendapati potensi kerugian negara akibat praktik kejahatan kehutanan mencapai Rp 9,146 triliun. “Itu hanya di empat kabupaten saja, yakni Seruyan, Sambas, Bengkayan, dan Ketapang,” ungkapnya dalam acara diskusi “Menjerat Tikus Hutan dengan UU Korupsi”, di Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (14/3).
Upaya penegakan hukum, nilainya, belum menunjuk pada upaya maksimal. Penyebab utama, UU Kehutanan masih memiliki banyak kelemahan. Seperti tidak adanya defenisi pembalakan liar, tidak ada sanksi minimum, tidak menjangkau kejahatan korporasi. Sanksi pun bersifat administratif dan tidak menjangkau kejahatan lain.
Karena itu, Donal mengatakan bahwa penggunaan UU Korupsi dan bahkan pencucian uang bisa digunakan oleh aparat penegak hukum. Dengan demikian para aktor intelektual dibalik tindak kejahatan yang terjadi bisa dijangkau oleh ukum. Selain itu, pengambilan kerugian negara pun bisa dimaksimalkan.
Ketua Kelompok Hukum Pusat Pelaparan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Riyono Budi Santoso, menguatkan pandangan Donal. Ia menyebut UU Pencucian Uang (UUPA) dapat digunakan.
Menurut dia, masalah perizinan biasanya menjadi hal yang utama dalam bisnis perhutanan. Izin tersebut, kata dia, bisa keluar biasanya karena ada suap.