Rabu 14 Mar 2012 16:14 WIB

Pengusaha 'Teriak' Kenaikan TDL

Rep: Dwi Murdaningsih/ Red: Hafidz Muftisany
Sofyan Wanandi
Foto: Antara
Sofyan Wanandi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengusaha memprotes rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL) yang dilakukan bersamaan dengan kenaikan BBM. Ketua asosiasi pengusaha Indonesia (Apindo) Sofyan Wanandi mengungkapkan pengusaha bisa menerima alasan kenaikan BBM. Namun, kenaikan TDL menurutnya tidak masuk akal.

Menurutnya, jika pemerintah tidak menaikkan BBM, hal itu akan berdampak pada defisit anggaran hingga 140 Triliun. “Saya melihat kalau nggak menaikkan (harga BBM) defisit anggaran lebih dari 4,2 persen,” ujar dia, Rabu (14/3). Sofyan meminta pemerintah bersikap rasional. Ia dan kalangan pengusaha berpendapat TDL tidak perlu naik karena keuntungan PLN tahun lalu sudah mencapai lebih dari 11 Triliun.

Ia mengungkapkan kini PLN sudah menggunakan batu bara dan gas. PLN juga tidak lagi menyewa jenset-jenset yang digunakan saat listrik padam. “Kecuali kalau PLN butuh uang lebih untuk investasi. Tapi waktunya bukan sekarang,” tambahnya. Sejak dulu, ia mengatakan tidak pernah melihat kenaikan BBM bersamaan dengan kenaikan TDL.

Pelaku industri makanan dan minuman merasa semakin terbebani dengan kenaikan TDL. Sekjen gabungan pengusaha makanan dan minuman Indonesia (Gapmmi) mengungkapkan biaya produksi industri mamin suda mulai naik sejak harga minyak dunia naik. Kini, harga BBM untuk industri sudah mencapai Rp 9500 perliter. Ia mengatakan industri mamin sudah tak mungkin lagi melakukan efisiensi. Ditambah dengan HPP gula yang naik 25 persen dari tahun 2011, sontak hal ini bisa mematikan industri kecil. Bagi indsutri besar, cukup besar kemungkiannanya untuk melakukan PHK.

Industri tekstil juga turut terpukul jika TDL dinaikkan. Ketua asosiasi pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat mengungkapkan kenaiakan TDL menimbulkan gap yang terllau besar bagi konsumen. “Daya beli Indonesia akan sangat menurun sehingga barang impor akan masuk,” ujarnya. Industri pakaian jadi ada dalam ancaman karena produk impor mungkin akan membanjiri lebih dari 70 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement