REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Erik Satrya Wardhana mempertanyakan pola pembelian melalui broker atau trader yang dilakukan oleh Petral dalam pengadaan minyak mentah dan BBM jenis premium.
"Secara logika, pembelian tidak langsung (melalui?broker/trader) pasti akan lebih mahal dari?pada pembelian langsung kepada produsen," katanya kepada pers di Jakarta, Rabu.
Komisi VI DPR menggelar Rapat Dengar Pendapat dengan Deputi Bidang Usaha Industri Strategis dan Manufaktur Kementerian BUMN dan Dirut PT Pertamina (Persero) dengan agenda pembahasan mengenai tata niaga bahan bakar minyak pada Selasa (13/3) pukul 19.00 WIB sd 23.15 WIB,
Pembelian melalui broker ini, katanya, menjadi penyebab tingginya biaya pengadaan yang secara otomatis memberi kontribusi bagi mahalnya harga minyak di dalam negeri yang berakibat pada beban APBN.
'' Fakta ini dapat dilihat dalam kejanggalan pada?kasus pengadaan minyak mentah jenis azari crude,'' tambahnya.
Harga dari Socar yang merupakan produsen azeri crude ternyata lebih mahal dari harga yang ditawarkan PTT Thailand yang merupakan trader.
Sedangkan penjelasan Bambang Irianto VP Marketing Petral pada 23 Februari 2012 bahwa alasan dimenangkannya PTT Thailand karena harga yang ditawarkan lebih rendah dibanding Socar.
"Ini aneh karena PTT Thailand pasti memperoleh?azari crude dari Socar. Bagaimana mungkin harga trader lebih rendah dibanding harga produsen," kata Erik.
Di samping itu,Erik juga mempertanyakan besaran minus alfa dalam penentuan harga beli BBM premium. "Perlu diketahui bahwa tidak ada lagi kilang di dunia saat ini yang memproduksi gasoline RON 88 (tidak ada MOPS untuk RON 88). Yang ada hanya RON 92, RON 95 dan?RON 97," katanya.
Akibatnya Pertamina menentukan harga beli RON 88 alias BBM premium mengacu ke harga MOPS RON 92 dikurangi besaran alfa. "Kami menerima data bahwa besaran alfa pada Januari 2012 sebesar -1.70 dolar AS perbarel dan setiap bulan Indonesia mengimpor BBM premium sebesar 7-8 juta barel," ungkap Erik.
Pertamina atau Petral harus menjelaskan besaran minus alfa ini secara detil, karena ini menyangkut angka yang sangat besar. Besaran minus alfa yang tidak jelas inilah yang membuka peluang terjadinya mark up.
Soal beban transportasi juga dipertanyakan oleh Erik. Pihaknya mengaku menerima data adanya inefisiensi dalam pengapalan minyak. Berdasarkan data yang diterima, besarnya inefisiensi di proses pengapalan mencapai sekitar Rp 26,1 miliar sebulan atau lebih dari Rp 300 miliar setahun.
"Lagi-lagi ini akibat praktik broker yang menyebabkan biaya sewa kapal menjadi terlalu besar, jauh di atas harga yang wajar. Kalau di total permainan dalam pengadaan crude oil, premium, solar dan avtur, inefisiensi Petral bisa mencapai sekitar Rp 4 triliun dalam setahun," kata Erik.
Untuk itu, ia meminta Pertamina untuk menjelaskan secara transparan besaran biaya yang sesungguhnya pada sistem pengelolaan anak perusahaan Pertamina itu.
Erik meminta agar ada audit menyeluruh yang dilakukan oleh lembaga independen untuk menjawab masalah tersebut. "Perlu transparansi, melalui audit tata kelola di Petral, mulai dari sistem pengadaan hingga sistem transportasi dalam pengadaan BBM impor. Bila efisiensi ini bisa ditempuh, saya kira nilai ekonomi dari penghematan yang terjadi akan menjawab bahwa sebenarnya kita tidak perlu menaikkan harga BBM," kata Erik.