Kamis 08 Mar 2012 19:30 WIB

Soal BBM, Pemerintah tak Boleh Bedakan Rakyat

Pakar Hukum Tata Negara Irman Putra Sidin
Pakar Hukum Tata Negara Irman Putra Sidin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Subsidi BBM adalah kewajiban pemerintah seperti yang termuat dalam Pasal 33 UUD 1945, sementara kewajiban memelihara fakir miskin dan anak terlantar adalah kewajiban lainnya yang tertuang dalam Pasal 34 UUD 1945.

Didasarkan pada dua pasal konstitusi itu, pakar hukum tata negara, Irman Putra Sidin, mengatakan pemerintah hendaknya tidak mencari alasan pembenaran bahwa menaikan harga BBM didasarkan pada keberpihakan pada rakyat miskin dari subsidi BBM itu, daripada rakyat yang sudah kaya. 

“Kewajiban subsidi BBM sesuai turunan pasal 33 UUD 1945 adalah kewajiban negara yang tidak bisa dialihkan dengan kewajiban memelihara fakir miskin dan anak terlantar, seperti yang tertuang dalam pasal 34 UUD 45. Ini tidak bisa dicampuradukkan. Oleh karena itu kewajiban mengurangi subsidi BBM yang bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa mengenal kaya atau miskin,” ujar Irman, Kamis (8/3).

 

Kalau pemerintah melakukan hal ini, kata dia, maka sama saja jelas Irman pemerintah ingin menciptakan konflik antara rakyat kaya dan rakyat miskin. Soal pengurangan subsidi dengan cara menaikan harga BBM, kata dia, tidak menjadi masalah selama DPR dan rakyat tidak keberatan.

Namun, lanjut Irman, Presiden jelasnya perlu diingatkan kalau DPR keberatan dan rakyat tidak bisa menerima, maka itu akan repot. ”Itu melanggar konstitusi karena kenaikan BBM tidak bisa diterima oleh rakyat. Kalau dikatakan pemerintah mengatakan harus ada kenaikan, maka harus dijelaskan pada rakyat. Silakan berikan pemahaman pada rakyat, karena kalau tidak hati-hati, presiden bisa berhenti karena hal ini,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement