REPUBLIKA.CO.ID, MAGELANG -- Program bantuan langsung tunai tidak efektif sebagai kompensasi pemerintah kepada masyarakat miskin atas kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak, kata pengamat sosial Universitas Muhammadiyah Magelang Kanthi Pamungkas Sari.
"Pelaksanaan program itu pada tahun-tahun lalu tidak efektif, sehingga pemerintah tak perlu menerapkannya lagi," katanya di Magelang, Senin.
Kanthi mengatakan hal itu terkait dengan rencana pemerintah menaikkan harga BBM subsidi sebagai dampak kenaikan harga minyak dunia yang makin membebani keuangan negara.
Ia mengemukakan BLT untuk masyarakat miskin pada masa lalu ternyata lebih banyak dimanfaatkan penerimanya untuk pembelanjaan berbagai barang yang bersifat kesenangan seperti rokok, "compact disc", dan radio.
"Akan sangat lucu jika kasus-kasus tersebut muncul kembali," katanya. Ia mengemukakan, program kompensasi atas kenaikan harga BBM tersebut sebaiknya lebih manusiawi dan produktif.
"Pemberian BLT sebaiknya lebih manusiawi dan produktif, untuk masyarakat yang benar-benar tidak mampu terutama secara fisik, mereka bisa diberikan barang-barang yang benar-benar mereka butuhkan," katanya.
Ia juga menilai, langkah pemerintah menaikkan harga BBM sebagai cara paling mudah dan simpel untuk merespons kenaikan harga minyak dunia tersebut. Tetapi, katanya, langkah itu hanyalah penyelesaian jangka pendek.
"Dan ini sudah berulang-ulang kali terjadi," kata Kanthi yang juga pengajar sosiologi Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Magelang itu.
Ia menyebut kenaikan harga BBM bukan berdampak terhadap komponen tunggal berupa persoalan perekonomian masyarakat. Akan tetapi, katanya, juga aspek lainnya seperti sosiologis, psikologis, politik, dan budaya.
"Ini harus dipahami dan diantisipasi semaksimal mungkin. Kalau tidak, tentu saja akan mengganggu stabilitas keamanan masyarakat," katanya. Pada kesempatan itu ia juga menyebut bahwa rata-rata upah yang diterima masyarakat kelas menengah ke bawah, minimal 70 persen untuk belanja kebutuhan primer, sedangkan lainnya kebutuhan sekunder.
Bahkan, katanya, di antara mereka membelanjakan 100 persen upahnya untuk kebutuhan primer.
Kenaikan harga BBM, katanya, dipastikan berakibat penurunan daya beli masyarakat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, warga miskin di perkotaan hingga September 2011 sekitar 10,95 juta orang, sedangkan di pedesaan 18,94 juta orang.
"Kenaikan harga BBM subsidi besar kemungkinan menambah jumlah penduduk miskin," katanya.