REPUBLIKA.CO.ID, Pada tahun 1954, diam-diam, kabinet Belanda memutuskan tidak akan mengusut lebih lanjut kejahatan perang militer mereka di Sulawesi Selatan, pada tahun 1946. Keputusan ini diambil menyusul laporan komisi penyidik khusus, yang sengaja dibentuk untuk mengusut kasus ini.
Hingga saat ini, tahun 2012, laporan komisi masih tergolong arsip sangat rahasia, dan belum terbuka bagi penelitian sejarah. Demikian berita utama harian De Volkskrant, yang terbit di Amsterdam.
De Volkskrant menyorot hal ini menyusul tayangan televisi Belanda NCRV, Selasa malam, "Altijd Wat". Penyusun acara ini berhasil memperoleh laporan komisi yang disusun oleh pejabat tinggi dari kalangan militer, kehakiman dan pemerintahan.
Laporan itu memuat fakta pembunuhan sekitar 3.000 warga, selama tiga bulan operasi pemulihan keamanan dan ketertiban pimpinan Kapten Raymond Westerling, di Sulawesi Selatan, pada akhir tahun 1946. Atasan langsungnya memberi Kapten Westerling wewenang menghukum mati para "perampok" dan pengacau lainnya.
Banyak kasus pembunuhan dilaksanakan setelah serdadu Kapten Westerling menyelenggarakan apa yang mereka sebut sebagai "pengadilan kilat". Laporan memuat fakta pembunuhan lebih dari 300 warga suatu desa, dalam satu hari.
Dalam dokumen ini tidak ada penjelasan alasan kabinet pimpinan Perdana Menteri Willem Drees (partai sosial demokrat, PvdA), pada tahun 1954 memutuskan tidak akan memperkarakan pelanggaran berat ini.
Dalam salah satu lembaran laporan terdapat tulisan tangan seorang pejabat pemerintah, yang menyatakan bahwa "tindakan beberapa perwira militer memang sangat keterlaluan". Namun, pada goresan selanjutnya tertulis "tidak ada gunanya mengungkit masa lalu".
Pada awal tahun 1980-an, seorang sejarawan Belanda, Willem Ijzereef, meneliti kasus ini dan ingin mempelajari laporan komisi khusus tersebut. Untuk itu ia harus mendapatkan izin dari empat menteri, termasuk perdana menteri saat itu, Ruud Lubbers.
Willem Ijzereef menyatakan kasus ini merupakan contoh nyata bagaimana kalangan penguasa mencoba mempetieskan suatu kasus.
Menurut Willem Ijzereef, pemerintah Belanda mempetieskan kasus ini karena sadar, operasi pembersihan yang dilakukan pasukan Kapten Westeling, menurut ketentuan hukum Belanda sendiri ilegal. Komandan tentara Belanda di Indonesia baru menghentikan operasi ini setelah rangkaian pembunuhan benar-benar jauh lewat batas. Atas desakan pemerintahan sipil.
Dalam acara televisi "Altijd Wat" tersebut, Liesbeth Zegveld, advokat Belanda yang mendampingi kasus pengaduan janda korban pembunuhan di Rawagede, menyatakan, pihak kejaksaan tidak boleh terus berpangku tangan. Kejaksaan harus mengusut kasus ini.
"Kasus pembunuhan sedemikian banyak orang tidak boleh dibiarkan berlalu begitu saja," tegasnya.
Belakangan ini, makin banyak kesaksian baru mengenai kasus pembunuhan massal di Sulawesi Selatan tersebut. Pihak kejaksaan Belanda sendiri menyatakan, selama tidak ada pengaduan resmi mengenai kasus ini, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Demikian penjelasan harian De Volkskrant mengenai sikap pasif aparat kejaksaan Belanda.