REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah survei yang dilakukan Lembaga Penelitian (lemlit) Universitas Muhammadiyah Dr Hamka (Uhamka) Jakarta, menyimpulkan bahwa sebagian besar warga ternyata mengharapkan pelaksanaan hukum syariah. Jumlahnya mencapai 77 persen dari responden.
"Penelitian ini dilakukan di Jakarta pada tanggal 18-29 Juli 2011 dengan partisipan penelitian sebanyak 202 warga Muslim Jakarta," kata juru bicara Tim Survei tentang "Ancaman bagi Ideologi Negara melalui Radikalisme Agama" dari Lemlit Uhamka, Subhan El Hafiz di Jakarta, Selasa.
Dosen Fakultas Psikologi Uhamka itu mengatakan, survei bahkan menyimpulkan bahwa sebagian besar masyarakat mengharapkan adanya negara Islam, sekitar 76 persen.
Menurut dia, hal ini tentu menjadi tantangan besar terhadap ideologi bangsa yang harus dihadapi, namun demikian, penanganan terhadap isu ini tidak dapat dilakukan dengan kekerasan dan tindakan represif serta kekhawatiran yang berlebihan terhadap konflik antaragama.
Hal ini dikarenakan, penelitian lebih jauh terhadap fakta di atas menunjukkan bahwa 55 persen partisipan mengatakan bahwa pemerintah saat ini sudah cukup baik atau adil terhadap agama-agama yang ada di Indonesia, ujarnya.
Selain itu hanya 12 persen yang mengkaitkan pelaksanaan syariah dalam konteks hukum, sedangkan sebagian besar (51 persen) mengkaitkan syariah dalam konteks pedoman moral, membela keadilan, dan meningkatkan kesejahteraan.
Dengan demikian, lanjut dia, perlu diwaspadai pengkristalan terhadap isu syariah yang kemudian bisa muncul dalam gerakan radikalisme agama. "Kewaspadaan terhadap mulai munculnya radikalisme agama yang terlihat dalam penelitian ini diwakili oleh 12 persen masyarakat yang menginginkan pelaksanaan hukum Islam dalam konteks formalisasi hukum Islam ke dalam hukum positif," ujarnya.
Jika ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah terus berlanjut maka bukan tidak mungkin angka ini akan terus meningkat hingga mencapai jumlah yang cukup signifikan untuk terjadinya revolusi dalam rangka mengganti ideologi negara, tambahnya.
Jika dikaitkan dengan ideologi, tingginya harapan masyarakat terhadap pelaksanaan syariah dan negara Islam harus dilihat sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemerintah saat ini.
Agama dijadikan dasar untuk mengubah negara karena keyakinan yang besar umat beragama bahwa agama akan mampu menyelesaikan masalah kenegaraan. Hal yang sama dapat dilihat pada daerah tapal batas Indonesia yang mengekspresikan kekecewaan pada pemerintah melalui perlawanan bersenjata, isu negara merdeka, atau bergabung dengan negara tetangga.
Namun pada daerah yang berada di 'area tengah' kekecewaan terhadap pemerintah diekspresikan melalui harapan terhadap perubahan bentuk dan ideologi negara yang sesuai dengan agama, ujarnya.
Tiap partisipan penelitian yang diwawancarai melalui wawancara tatap muka ini dipilih dari kelurahan yang berbeda di Jakarta dimana jumlah partisipan tiap kecamatan disesuaikan dengan jumlah kelurahan pada masing-masing kecamatan tersebut, ujarnya.