Kamis 09 Feb 2012 14:53 WIB

Pengamat : Larangan CPO Indonesia karena Persaingan Bisnis

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK- Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia (UI) Rizal Edy Halim menilai larangan masuknya minyak kelapa sawit mentah (CPO) dari Indonesia ke Amerika Serikat karena adanya persaingan bisnis. "Tidak tertutup kemungkinan larangan tersebut adanya persaingan bisnis" katanya di Depok, Kamis.

Ia menjelaskan, memang larangan ini relatif kental dengan dua hal pertama perbaikan citra AS dan berkesan heroik tentang target-target Milinium Developmen Goals (MDG's) dan dan yang kedua politik bisnis mengingat AS bukan lagi negara tujuan ekspor yang utama. Rizal juga mengatakan larangan CPO ke AS merupakan refleksi dari berbagai persoalan yg terjadi terkait dengan lahan peruntukkan dan konflik hubungan industrial.

Sementara itu Guru Besar Teknologi Industri Pertanian IPB, Prof Endang Gumbira Said menilai LSM asing terus melakukan kampanye negatif seputar industri berbasis sumber daya alam di Indonesia, termasuk industri perkebunan seperti sawit dan industri kehutanan yang menggunakan bahan baku dari hutan produksi. "Kampanye LSM asing di Indonesia diduga tidak murni untuk kepentingan lingkungan. Namun membawa kepentingan industri minyak nabati yang menjadi andalan negara Amerika dan Eropa," katanya.

Ia menilai tuduhan AS masih sama yakni kerusakan lingkungan, pemanfaatan lahan gambut dan pelepasan limbah cair minyak sawit. Alasan mereka memang kelihatan sangat ilmiah, tetapi asumsinya saja yang kurang tepat. "Saya yakin ada yang salah dalam dokumen mereka," katanya.

Menurut dia, gerakan LSM asing membawa misi titipan dari industri minyak nabati di Amerika dan Eropa yang merasa terjepit pasarnya dengan perkembangan industri minyak sawit Indonesia. Salah satu kiatnya adalah menebarkan kampanye negatif tentang lingkungan yang dibidikkan langsung ke Indonesia.

Dikatakannya, LSM asing itu sepertinya mempunyai kepentingan tertentu terhadap industri kelapa sawit Indonesia atau diperalat oleh sejumlah pengusaha besar Eropa yang merasa khawatir dengan perkembangan signifikan industri sawit Indonesia.

Hingga 2011, produksi CPO Indonesia sudah mencapai 22-23 juta ton per tahun. Namun, dalam catatan Gumbira, pihak Barat memprediksi total produksi CPO Indonesia pada 2022 bisa mencapai 31 juta ton per tahun. Kenaikan ini tentu membuat resah industri nabati Amerika dan Eropa. Ia mengatakan, produktivitas kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan komoditas minyak nabati lain. Industri kelapa sawit juga memiliki keunggulan dari segi efisiensi lahan.

Dari segi lahan, minyak sawit hanya membutuhkan 0,26 hektare untuk menghasilkan 1 ton CPO. Sementara, satu ton minyak kedelai memerlukan 2,22 hektare. Minyak bunga matahari menghabiskan 2 hektare untuk 1 ton. Dan, minyak kanola membutuhkan 1,52 hektare. Kedua, dari segi produktivitas, minyak sawit sebesar 3,5 ton/hektare/tahun. Lalu, minyak kedelai 0,36 ton/hektare/tahun. Minyak kanola sebesar 0,55 ton/hektare/tahun, dan minyak bunga matahari mencapai 0,36 ton/hektare/tahun.

Sedangkan pengamat ekonomi Indef, Hendri Saparini, mengingatkan, dalam persaingan global saat ini, isu apapun akan digunakan pihak Barat untuk menjamin kepentingan mereka.

"Saya tidak kaget jika pihak AS berupaya menghentikan ekspansi ekspor sawit Indonesia dengan berbagai alasan yang sering tidak masuk akal," ujarnya. Menurut dia, isu lingkungan itu bukan hal baru. Dulu juga pernah dibuat eco-labelling yang mewajibkan seluruh produk disertifikasi pro lingkungan. Sekali lagi, apapun akan digunakan untuk merebut persaingan global.

Sedangkan pemerintah menyiapkan pengajuan keberatan terhadap rencana penerapan aturan standar biodiesel AS yang antara lain menyatakan bahwa biodiesel dari minyak kelapa sawit tidak memenuhi standar bahan bakar terbarukan. "Kita akan menyampaikan argumen sanggahan tanggal 27 Februari ini sesuai tenggat waktu yang ditetapkan," kata Menteri Perdagangan Gita Wirjawan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement