REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Insiden kerusuhan di Bima disinyalir sebagai bukti negara alfa terhadap rakyatnya. Wasekjen PDIP, Ahmad Basarah, menilai telah terjadi penurunan kapasitas negara dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya.
Negara gagal memberikan kesejahteraan kepada mereka. Akibatnya, hilanglah rasa hormat dan penghargaan terhadap pejabat dan simbol-simbol serta negara.
Situasi dan kondisi psikologi massa seperti itu melahirkan kemarahan. Masyarakat frustasi dan marah serta hilang rasa penghormatan terhadap negara dan sesama anggota masyarakat. Akibatnya, konflik horisontal dan vertikal semakin tinggi eskalasinya. Jika situasi dan kondisi dalam negeri terus berada dalam ketidakpastian sosial dan hukum seperti sekarang ini, pihaknya khawatir akan berujung pada diintegrasi bangsa.
"Presiden SBY selaku penanggung jawab pemerintahan nasional jangan terlalu lama diam dan membisu seperti sekarang ini," imbuhnya, saat dihubungi, Jumat (27/1).
Dia mengatakan harus segera diambil tindakan yang tegas dan bertanggung jawab untuk mengatasinya. "Jangan sampai sejarah mencatat bahwa ditangan Presiden SBY-lah Negara Kesatuan Republik Indonesia akan berakhir sejarahnya," papar Basarah.
Pihaknya juga menilai pembakaran kantor Bupati oleh massa di Bima membuktikan sekali lagi Polri tidak profesional dan gagal dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya menjaga ketertiban masyarakat. Mestinya Polri menetapkan status kewaspadaan yang tinggi dalam mengantisipasi gejolak sosial di Bima sebagai akibat sengketa lahan antara masyarakat dengan PT SNM.
Di sisi lain, fenomena kekerasan oleh masyarakat di berbagai daerah akhir-akhir ini juga harus dilihat dalam perspektif lebh luas. "Terutama menyangkut kehadiran negara dalam menciptakan tertib sosial di tengah masyarakat," paparnya.