Sabtu 21 Jan 2012 21:56 WIB

Pantas, Ekslusivitas Tionghoa Itu Gara-gara Kolonial

Pekerja menyiapkan pernak-pernik Tahun Baru Imlek di kawasan Pecinan Petak Sembilan, Glodok, Jakarta Barat, Jum'at (20/1). (Republika/Aditya Pradana Putra)
Pekerja menyiapkan pernak-pernik Tahun Baru Imlek di kawasan Pecinan Petak Sembilan, Glodok, Jakarta Barat, Jum'at (20/1). (Republika/Aditya Pradana Putra)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Gara-gara bangsa kolonial yang menjajah Indonesia, suku Tionghoa hingga saat ini masih merasa eksklusif dibandingkan suku lainnya di Indonesia. Hal ini dikemukakan sejarawan JJ Rizal.

"Eksklusivitas orang Tionghoa itu dibuat oleh pemerintah kolonial, kalau saat ini masih ada orang Tionghoa yang tetap bersikap eksklusif maka artinya mereka terjebak dalam jebakan sejarah," kata JJ Rizal, di Jakarta, Sabtu (21/1), seusai acara talkshow dengan salah satu radio swasta dengan topik "Imlek dan Peran Tionghoa Kini".

Menurut dia, pada era kolonialisme warga keturunan Tionghoa dimanfaatkan oleh para penjajah (Belanda) sebagai perantara dengan warga pribumi.

Hal itu, membuat warga Tionghoa menjadi mesin ekonomi Batavia dan muncul sebutan "hantu uang" untuk mereka.

Kemudian saat perekonomian etnis Tionghoa mulai meluas dan berkembang, terjadi pembantaian besar-besaran terhadap etnis Tionghoa pada tahun 1740.

"Mitos ini kemudian dilembagakan di zaman Orde Baru," katanya.

Hal ini menurut Rizal, membuat warga keturunan Tionghoa takut atau tidak tertarik untuk bergerak di bidang lain, misal politik atau menjadi pegawai pemerintah.

Ia menilai orientasi selama ini yang menjadikan warga keturunan Tionghoa menjadi pedagang sangat berbahaya karena akan menimbulkan prasangka.

ia mendorong untuk semua pihak bersikap makin terbuka satu sama lain dan bergaul tanpa batas-batas ke-etnis-an.

Ketua Yayasan Solidaritas Nusa Bangsa Esther Yusuf menilai warga Tionghoa cenderung tidak berpolitik karena trauma masa lalu yang belum hilang.

"Memang pelajaran di masa lalu masih jadi peringatan keras. Banyak orang yang melarang anak-anaknya untuk berpolitik," katanya.

Ia juga mengutip kesaksian sejumlah warga keturunan Tionghoa pada peristiwa 98 yang gagal menjangkau aparat keamanan untuk melindungi mereka.

Namun ia menilai seluruh etnis tidak hanya Tionghoa hendaknya mulai peduli dengan berbagai kebijakan atau peraturan yang ada di Indonesia karena hal itu berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.

Hermawi F Taslim yang mewakili Komunitas Glodok dalam acara bincang-bincang itu menilai bahwa berdagang menjadi pilihan kebanyakan warga Tionghoa karena tidak memiliki banyak aturan.

"Karena itu tidak ada pilihan lain. Berdagang kan tidak ada aturannya," katanya.

Mantan Duta Besar RI untuk China Mayjen (Purn) Sudrajat yang juga hadir dalam kesempatan itu menyampaikan pandangan yang senada dengan JJ Rizal.

Ia meyakini jika peristiwa 98 tidak akan terulang namun juga meminta agar etnis minoritas, tidak hanya etnis Tionghoa, untuk tidak bersikap eksklusif.

"Sikap eksklusif hanya akan merangsang orang marah," katanya. Ia menilai jika tidak ingin diperlakukan diskriminatif maka hendaknya juga jangan bersikap diskriminatif.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement