REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mengabdi di suatu perusahaan selama 20 tahun rupanya tidak mengubah jabatan dan penghidupan Didik Suprijadi, pekerja pencatat meteran listrik di PT Perusahaan Listrik Negara. Ketua Umum Aliansi Petugas Pembaca Meteran Listrik (AP2ML) inilah yang mengajukan uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 59 Ayat 1 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
Didik merasa bahwa selama masa bekerjanya di PLN terjebak dalam sistem kerja kontrak yang mengabaikan hak normatif para pekerja. Itu lantaran setiap tahun pekerja harus memperbarui sistem kontrak dan tidak menghitung masa kerja sebelumnya. Dengan ketentuan itu, Didik tidak mendapat hak-hak sebagaimana pekerja tetap, akibat dianggap sebagai pekerja baru setiap tahunnya.
“Para pekerja meteran harus dihitung masa kerja nol setiap dilakukan kontrak kerja baru, ini sama saja dengan sistem perbudakan,” kata Didik menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menegaskan bahwa sistem kerja kontrak, termasuk outsourcing itu inkonstitusional, di Jakarta, Selasa (17/1).
Menurut Didik, harusnya pekerja pencatat meteran listrik bukan berstatus tenaga kontrak. Dia menilai UU Ketenagakerjaan menimbulkan diskriminasi pekerja dan mengakibatkan kesenjangan sosial, terutama antara pengusaha dan pekerjanya. “Kami ini termasuk orang yang menggeluti pekerjaan stategis pada industri jasa, harusnya tidak dikontrak tanpa kejelasan seperti sekarang,” keluhnya.