Jumat 13 Jan 2012 14:59 WIB

Bank Asing Diduga Sokong Eksploitasi Tambang

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Chairul Akhmad
Tambang Newmont Nusa Tenggara (ilustrasi).
Foto: Antara
Tambang Newmont Nusa Tenggara (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menganggap meningkatnya izin pertambangan di Indonesia tak lepas dari skema investasi asing secara langsung (foreign direct investmen).

“Perbankan besar banyak terlibat kebijakan di Indonesia,” kata Koordinator Jatam, Andrie S Wijaya di Jakarta, Jumat (13/1).

Penggabungan dan akuisisi lintas batas mendorong meningkatnya investasi langsung, dalam hal penyertaan modal keuangan dan portofolio berupa saham dan modal pinjaman.

Orientasi ekspor, kata Andrie, menjadi salah satu syarat lembaga multilateral seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank, dan International Financial Institute (IFIs).

International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) dan International Development Association (IDA) mendanai sektor tambang pertama kali pada 1975. Berikutnya negara maju seperti Japan Bank of International Coorporation (JBIC), Asia Bank Development (ADB), Bank Central Asia (BCA), Royal Bank of Canada, juga ABN Amro Bank.

Perusahaan tambang di Indonesia juga tak lepas dari pendanaan tersebut. Andie mencontohkan PT Freeport Indonesia dari Bank Mandiri, PT Meares Soputan Mining di Sulawesi Utara dari BRI, PT Dairi Prima Mineral Sumatera Utara dari BNI, Kitadin dari BCA, dan PT Berau Coal dari Bank Permata.

Harga jual komoditas tambang yang terus meningkat memotivasi peningkatan eksploitasi tambang. Jatam menilai pemerintah seringkali berlaku baik pada pengusaha yang mendorong percepatan eksploitasi tambang.

Pengamat energi, Marwan Batubara, menduga ada relasi kuat antara meningkatnya izin pertambangan dengan peristiwa politik. Kondisi yang terlihat, katanya, izin usaha pertambangan di kabupaten meningkat setiap terjadi pemilihan kepada daerah. “Jumlah izin usaha skala provinsi juga meningkat setiap kali pemilihan gubernur,” katanya dalam kesempatan yang sama.

Direktorat Jenderal Pajak, kata Marwan, hingga tahun ini kesulitan melakukan pencatatan perusahaan yang menjadi wajib pajak dari sektor minyak, gas, mineral, dan batubara. Akibatnya, penerimaan pajak tahun lalu tak optimal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement