REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR-- Pakar pertanian Universitas Udayana Dewa Ngurah Suprapta menganggap ada kesalahan pola konsumsi masyarakat yang mengakibatkan ketahanan pangan nasional menjadi terancam.
"Ambillah contoh dalam hal konsumsi roti dan mie, padahal jelas-jelas negeri ini tidak menghasilkan cukup gandum sehingga harus mengandalkan impor dari negara lain. Hal itu sebagai salah satu bentuk penggadaian perut kita," katanya di Denpasar, Senin.
Menurut Presiden Pakar Pertanian ASEAN dan Jepang itu, setiap tahun Indonesia mengimpor gandum rata-rata senilai Rp200 triliun. "Belum lagi impor-impor bahan pangan yang lain, seperti kedelai, jagung, buah-buahan, dan garam," katanya.
Semestinya, masyarakat mengonsumsi bahan makanan yang dapat dihasilkan di negeri sendiri agar tidak menyebabkan bangsa ini selalu ketergantungan. "Pemerintah seharusnya mulai menggerakkan kesadaran masyarakat untuk mencintai produk-produk yang dihasilkan oleh para petani kita, seperti halnya masyarakat kita yang sudah ketergantungan pada gandum sebenarnya dapat disiasati dengan mengolah umbi-umbian menjadi tepung," katanya.
Ia menyarankan masyarakat setidaknya dapat mencontoh Jepang. Seberapa mahalnya buah lokal di negara mereka dibandingkan harga buah impor yang masuk ke sana, masyarakat negeri sakura itu tetap memilih buah yang dihasilkan para petaninya.
"Begitu juga dengan keberpihakan pihak hotel kepada petani. Dalam setahun, penyedia jasa pariwisata menyuguhkan buah-buahan yang berbeda-beda disesuaikan dengan buah yang dihasilkan petani," katanya. Namun, pihak hotel di Bali khususnya selalu mensyaratkan ketersediaan buah yang sama sepanjang tahun kepada para petani, jika ingin hasil pertaniannya menjadi konsumsi hotel.
"Ini pemikiran yang sebenarnya tidak masuk akal karena buah-buahan tumbuh sangat tergantung dengan musim. Padahal wisatawan yang datang ke Bali sejatinya menginginkan hal yang spesifik, bukan buah yang sama dijumpai di negaranya," katanya.